Profil
Kisah Mendiang Jro Mangku Dewa Made Rauh yang Berpulang Pada Usia 101 Tahun
Jro Mangku Dewa Made Rauh menghembuskan nafas terakhir, pada Selasa (30/5/2023) setelah sempat dilarikan ke RSUD Sanjiwani Gianyar.
TRIBUN-BALI.COM - Jro Mangku Dewa Made Rauh menghembuskan nafas terakhir, pada Selasa (30/5/2023) setelah sempat dilarikan ke RSUD Sanjiwani Gianyar.
Semasa hidupnya, Jro Mangku Dewa Made Rauh tidak pernah mengeluh sakit.
"Beliau tidak pernah mengalami sakit tertentu. Meninggalnya murni karena usia," jelas putra sulung mendiang, bernama Jro Mangku Dewa Gede Suadnyana (65), saat ditemui di rumah duka, awal Juni 2023 lalu.
Mendiang adalah pemangku Pura Khayangan Jagat Pengukuran-ukuran, Banjar Sawagunung, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring.
Jro Mangku Dewa Made Rauh meninggal dunia pada usia 101 tahun.
Baca juga: Awas Dua Orang Bule Tukang Hipnotis Berkeliaran di Bali, Sudah Ada Yang Kena Mangsa
Baca juga: Tiga Akta Bisa Terbit Dalam Waktu Tiga Jam di Buleleng

Jro Mangku Dewa Made Rauh telah mengabdikan diri sebagai pemangku Pura Pengukur-ukuran sejak sekitar tahun 1960an.
Selama puluhan tahun itu, beliau ngayah mengantarkan sembah bakti dari pamedek yang tak sedikit diantaranya adalah pejabat hingga politisi.
Termasuk upacara-upacara besar yang digelar di pura ini. Salah satunya pada peringatan Tumpek Landep bulan April 2022 lalu.
Ketika itu Gubernur Bali Wayan Koster, melakukan persembahyangan bersama Jana Kerthi memperingati Tumpek Landep.
Gubernur Bali Wayan Koster ketika itu hadir bersama Kapolda Bali Irjen Pol Putu Jayan Danu, Wagub Bali Tjokorda Artha Ardhana Sukawati, Sekda Bali Dewa Made Indra, Bupati Gianyar Made Agus Mahayastra, Ketua DPRD Kabupaten Gianyar Wayan Tagel Winartha dan undangan lainnya.
Kepada Jro Mangku Dewa Suadnyana, mendiang hanya berpesan agar ngayah dengan sungguh-sungguh.
"Tidak ada pesan khusus, ajik hanya berharap kami tulis ngayah sebaik-baiknya," ungkap pensiunan Polri ini.
Almarhum meninggalkan seorang istri, bernama Desak Made Rai, 7 putra putri serta belasan cucu dan cicit.
Seperti diketahui, Kahyangan Jagat Pura Pengukuran-ukuran terletak di Banjar Sawagunung, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring. Diemong oleh 177 KK dari dua desa adat, yakni Desa Adat Sawagunung dan Gepokan.
Bendesa Pura Pengukuran-ukuran, Dewa Gede Raka, saat ditemui menjelaskan ada dua prasasti yang menerangkan tentang historis pura.
Prasasti Ambang Pintu yang sekarang berada di Candi Agung di Utamaning Mandala Pura Pengukuran-ukuran dan Prasasti Kintamani.
Disebut Prasasti Ambang Pintu karena kemungkinan dahulu terletak pada sebuah pintu gerbang (pamedal) Pura Pengukur-ukuran.
Prasasti itu tergolong singkat karena terdiri hanya 3 baris, namun mengandung suatu keunikan.
Pada Prasasti Pengukur-Ukuran dalam menyebutkan angka tahunnya dimulai, dengan kalimat “Swasti Cri Caka Warsatitanagata wartama” yang artinya “Selamat bahagia tahun caka yang lalu yang akan datang dan yang sedang berjalan”.
Berdasarkan penanggalan yang terdapat pada Prasasti Pengukur-Ukuran, yaitu;
“Wraspati Wage Pujut, Penanggalan Ping Lima Sasih Kawulu, Tahun 1116 Caka atau sekitar 12 Februari 1194 Masehi.
Berdasarkan Prasati, bahwasannya pura ini sebelumnya bernama Pasraman Dharmma Hanyar. Hal ini dapat diketahui dalam kalimat "Mpungkwing Dharmma Hanar” yang artinya “Pendetaku di Dharmma Hanyar” yang bergelar Maha Rsi Jiwaya.

Pasraman yang dekat dengan aliran Tukad Pakerisan ini, dijadikan tempat menempa kempuan. Kisahnya, pada jaman pemerintahan Prabu Sri Astasura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14 ada keturunan dari Arya Karang Buncing, yang bernama Kebo Iwa (Kebo Taruna).
Kebo Iwa melamar menjadi patih di kerajaan Bedahulu namun tidak diterima begitu saja tanpa melalui ujian kesaktian terlebih dahulu. Nah, untuk mengukur kesaktiannya inilah, prajurit dan orang-orang yang dianggap sakti di kerajaan Bedahulu termasuk Perdana Menteri Ki Pasung Gerigis yang sangat terkenal kesaktiannya pun dipanggil ikut mengujinya.
Dalam ujian tersebut tidak ada yang mampu mengalahkan Kebo Iwa, bahkan banyak lawannya harus meregang nyawa.
Saking banyaknya, jasad para korban sampai tertumpuk seperti gunung. "Cerita ini pula yang diyakini menjadi cikal bakal nama Banjar Sawagunung. Sawa artinya jasad, gunung ya menggunung karena saking banyaknya," jelas Dewa Gede Raka, pensiunan BUMN ini. (*)
Jro Mangku Dewa Made Rauh
pemangku
Pura Khayangan Jagat Pengukuran-ukuran
Tampaksiring
meninggal dunia
Pura Pengukur-Ukuran
Tumpek Landep
Profil Kadek Mentor, Anggota Paskibraka Nasional Wakil Bali, Terinspirasi dari Ayah |
![]() |
---|
Profil Putu Anindya, Wakili Bali Jadi Anggota Paskibraka Tahun 2025, Wujudkan Impian Almarhum Ayah |
![]() |
---|
Profil Kepala Satpol PP Badung I Gusti Agung Ketut Suryanegara, Bongkar Puluhan Bangunan Ilegal |
![]() |
---|
Profil Kepala BNNP Bali, Ungkap Kasus Narkotika Bernilai Rp17 Miliar |
![]() |
---|
Akan "Dilantik" sebagai Raja Mengwi Baru, Berikut Profil Anak Agung Gede Agung |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.