Dewi Lintang: Lukisan Itu Harus Memiliki Pesan, Tidak Sekadar Menggambar
Dewi Lintang: Lukisan Itu Harus Memiliki Pesan, Tidak Sekadar Menggambar
Penulis: Sunarko | Editor: Fenty Lilian Ariani
SURABAYA, TRIBUN-BALI.COM - Lebih seratus pelukis lokal dan nasional berpartisipasi dalam pameran lukisan “City of Heroes” yang digelar Ikatan Pelukis Indonesia (IPI) di basement Alun-Alun Surabaya pada 15-18 Agustus 2023.
Pameran akbar itu dalam rangka peringatan ke-7 IPI sekaligus perayaan HUT ke-78 Kemerdekaan RI.
Diantara ratusan pelukis yang berpameran di situ, ada satu bakat muda yang turut tampil.
Namanya Dewi Lintang Prameswari Intan Ningrum, gadis asal Surabaya.
Meskipun baru berusia 21 tahun, Dewi memiliki imajinasi yang mendalam bahkan “liar” untuk dituangkan ke dalam kanvas lukisannya.
Pada pameran ”City of Heroes” kali ini, misalnya, Lintang (panggilan akrabnya) memajang karyanya yang diberi judul “Takhta”.
Dengan sapuan cat akrilik maries di atas kanvas berkualitas bagus, goresan-goresan yang ditorehkan Lintang sekilas terkesan “menusuk”.
Bagaimana tidak, gambar-gambar dengan pewarnaan agak kelam itu tampak menyerupai serakan tonggak-tonggak besi lurus yang runcing di ujungnya.
Besi-besi itu mengepung sebuah kursi dengan botol dan mangkuk di atasnya, dan dibelit rantai yang diikatkan ke tonggak-tonggak tajam itu.
Sebuah imajinasi, dengan pesan yang barangkali tidak bisa dengan seketika ditangkap maknanya oleh publik yang melihatnya.
Baca juga: Rekruitment PPPK Nakes 1.072, Komisi I Minta Hal Ini Ke Pemkab Tabanan
Saat diwawancarai Tribun-Bali.Com, Lintang menjelaskan bahwa lukisan karyanya itu berbicara tentang sebuah kekuasaan, yang dilambangkan oleh kursi sebagai tempat duduk atau kedudukan.
Pemilik kekuasaan atau penguasa, kata gadis kelahiran 25 Oktober 2001, harus dekat dengan orang-orang atau rakyat yang dikuasainya. Begitu pula, rakyat pun semestinya tidak berjarak dengan penguasa.
“Jadi, kursi itu melambangkan kedudukan atau jabatan, dan tonggak-tonggak besi yang bertebaran itu sebagai lambang dari rakyat.
Keduanya, penguasa dan rakyat, dieratkan oleh rantai yang bermakna bahwa hubungan, interaksi penguasa dengan rakyat semestinya saling mempengaruhi dan mendukung,” demikian jelas Lintang tentang pesan yang ingin ia sampaikan lewat lukisan itu.
Tepatlah kemudian jika lukisan itu diberinya judul “Takhta”.
“Pemilik takhta atau penguasa harus kuat kedudukannya supaya tidak mudah digoyang, tetapi dia juga tetap harus dekat dengan rakyat yang dipimpinnya,” imbuh Lintang, yang tercatat sebagai mahasiswa Semester 7 Jurusan Pendidikan Seni Rupa di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.
Saat ditanya bagaimana apabila audiens dan pemerhati lukisan memiliki tafsir berbeda atas makna atau pesan dari lukisannya, Lintang mengatakan ia akan berusaha menjelaskannya.
Akan tetapi, Lintang mengakui bahwa audiens memang sah-sah saja memiliki persepsi dan interpretasi yang berbeda terhadap pesan sebuah karya lukis, termasuk karya lukis Lintang sendiri.
Apalagi, karya-karya lukis Lintang bercorak dekoratif, sehingga tidak selalu langsung dengan konkret bisa ditangkap maknanya.
“Publik memang ya terserah saja mau menafsirkan pesan atau makna dari ide yang dikandung oleh sebuah lukisan itu apa. Pelukis tentu perlu memberikan penjelasan. Namun, di atas itu semua, yang terpenting adalah pelukis bisa mempertanggungjawabkan karya lukis yang dia hasilkan,” tutur Lintang.
Bakat melukis Lintang terlihat sejak dia masih kanak-kanak. Pada masa itu, ungkap Lintang, dirinya sudah menyukai aktivitas mewarnai.
Memasuki sekolah menengah, bakat seni lukis Lintang mulai terasah dan terlihat makin nyata.
“Kebetulan Lintang bersekolah di SMKN 12 Surabaya yang memiliki jurusan seni rupa. Kini di kuliah, Lintang mendapat bimbingan serta banyak berdiskusi dengan para dosen dalam membuat karya lukis,” tutur Lintang, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Hadiono dan Munawaroh.
Ia mengakui, bakat melukisnya diwarisi dari sang ayah, salah-satu pelukis senior Surabaya. Sang ayah juga menjadi partner diskusi Lintang untuk ide-ide dan konsep lukisannya.
Baca juga: BREAKING NEWS - Asap Tebal Mengepul, Dua Hektar Lahan di Bukit Teletubies Kebakaran
Menurut Lintang, melukis tidaklah sekadar menggambar atau corat-coret di atas kanvas. Seorang pelukis semestinya membawa ide atau gagasan dan pesan yang ingin disampaikannya lewat lukisan.
Ditanya apa jenis atau corak lukisan favoritnya, Lintang menyebutnya dekoratif, dan termasuk dalam kategori karya lukis abstrak.
Sudah ada enam buah karya lukis yang dihasilkan oleh Lintang sejauh ini, di kanvas lebar maupun kanvas kecil. Semua bercorak dekoratif.
Meskipun sama sekali belum menghasilkan lukisan bercorak realis, Lintang mengaku dirinya tidak alergi dengan corak realis. Ia sebetulnya banyak membuat sketsa-sketsa bercorak realis hitam putih di buku A4.
“Sketsa-sketsa realis saya kebanyakan dibikin on the spot. Yang jadi obyek adalah apa yang saya lihat saat itu, tapi tidak melulu pemandangan,” kata Lintang.
Uniknya, meskipun sang ayah seorang pelukis dan salah-satu anggota Ikatan Pelukis Indonesia (IPI), Lintang ternyata bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Lho?
“Saya ingin jadi PNS tetapi yang bidang kerjanya masih terkait dengan lukisan. Yakni menjadi pengajar atau guru seni lukis. Ini juga sesuai dengan kuliah saya di Jurusan Pendidikan Seni Rupa,” ucap Lintang.
Bakat menjadi guru itu sudah dia tunjukkan dengan mengajari anak-anak tetangga di sekitar rumahnya di kawasan Banyu Urip Kidul Surabaya.
“Saya membuka semacam kursus menggambar untuk anak-anak sekitar rumah. Gratis. Tapi kalau mereka memberi honor ya terserah juga, pokoknya sukarela,” jelas Lintang.
Kursus menggambar itu diadakannya seminggu sekali di rumahnya.
Melalui kursus menggambar, Lintang ingin bakat-bakat seni lukis yang mungkin ada di kalangan anak-anak kampung di sekitar rumahnya bisa tersalurkan atau terwadahi.
“Jangan sampai bakat seni lukis mereka terabaikan dan terkubur lantaran tidak ada tempat yang mewadahinya. Atau minat mereka terhenti, karena tidak mengasahnya secara sistematis lewat bangku pendidikan akibat keterbatasan biaya,” kata Lintang menjelaskan alasannya membuka kursus gratis menggambar.
Sejauh ini karya lukis buah tangan Lintang masih tersimpan sebagai koleksi pribadinya. Tetapi, ia bukan bermaksud tidak mau menjualnya.
“Kalau ada yang beli ya tentu saya lepas. Asalkan harganya cocok,” kata Lintang yang menyebut bahwa lukisan “Takhta” ia banderol sekitar Rp 20 juta.
“Di dunia seni, harga sebuah karya itu relatif, tidak ada patokan yang kaku. Kadang dipasang harga tertentu untuk sebuah lukisan, itu bisa dianggap kemahalan atau sebaliknya kemurahan oleh publik. Harga tergantung nego juga,” jelas Lintang.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.