Pameran Mikul Duwur Mendem Jero 2 “PERTEMUAN”
Bentara Budaya menghadirkan pameran dengan judul “Pertemuan” sebagai bentuk apresiasi perjalanan Bentara Budaya
Seniman-seniman ini akan merespon foto-foto peristiwa dan kegiatan di Bentara Budaya Yogyakarta dalam rentang waktu 40 tahun. Pameran ini menjadi peristiwa penting bagi Bentara Budaya Yogyakarta untuk selalu mengingat jejak perjalanan yang sudah ditempuh selama ini.
Sebelum datang ke pameran ini, sudah seyogyanya mengetahui kilas perjalanan Bentara Budaya sejauh ini. Bentara Budaya berdiri pada tahun 1982 di Yogyakarta.
Awalnya, kantor Bentara Budaya Yogyakarta beralamat di Jalan Sudirman, dekat dengan lokasi Gramedia saat ini. Karena adanya perluasan TB Gramedia, kantor Bentara pindah ke Jalan Suroto No. 2 Kotabaru pada tahun 1993.
Awalnya, Bentara Budaya merupakan ruang bagi kesenian-kesenian yang terpinggirkan, terutama untuk kesenian tradisi yang saat itu tidak memiliki wadah untuk menunjukkan kehadiran mereka.
Berangkat dari ruang untuk kesenian yang kurang diperhatikan, Bentara Budaya diuji konsistensinya.
Dan ternyata selama empat puluh tahun lebih Bentara Budaya diterima baik kehadirannya di tengah masyarakat.
Hal itu menjadi pertanda positif dan Bentara Budaya pun tak hanya di Yogyakarta, tetapi juga hadir di Jakarta, Solo, dan Bali.
Perjalanan panjang ini memiliki berbagai catatan penting yang terdokumentasikan dalam bentuk foto-foto. Pada dasarnya, foto mampu bercerita tentang banyak peristiwa termasuk pertemuan antar seniman dengan masyarakat umum.
Pertemuan-pertemuan ini merupakan peristiwa penting karena akan menjadi sejarah penting bagi kehidupan kesenian kita saat ini.
Begitu juga Bentara Budaya, dari tahun ke tahun selalu melahirkan cerita-cerita baru yang memuat berbagai pandangan dan pikiran para seniman dalam menyampaikan ekspresi melalui karya-karyanya.
Pada awal berdirinya Bentara Budaya, terdapat pameran dua perupa tradisi yang mewakili jamannya.
Dua perupa tersebut adalah Sastro Gambar dari Magelang dan Tjitro Waloejo dari Solo.
Mereka melukis karya-karya tradisional, Sastro Gambar memakai kaca sebagai media lukisnya, sementara Tjitro Waloejo melukis di atas kertas dengan tema mitos-mitos pesugihan Jawa.
Dua perupa ini mampu menarik perhatian masyarakat umum, dan memberi banyak pengetahuan bahwa seniman tradisional mampu bertahan dari perubahan zaman.
Pameran-pameran di Bentara Budaya Yogyakarta saat itu sangat riuh dengan para perupa modern dari berbagai usia seperti Affandi, Bagong Kussiodiarja, Sapto Hudoyo, serta seniman-seniman muda yang bermunculan bersamaan dengan hadirnya ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.