Pameran Mikul Duwur Mendem Jero 2 “PERTEMUAN”
Bentara Budaya menghadirkan pameran dengan judul “Pertemuan” sebagai bentuk apresiasi perjalanan Bentara Budaya
Kemudian, pada tahun 1983 diadakan pameran Ukir Patung Asmat dan Papua, pameran lukisan Sokaraja, diskusi dan pentas tari Ben Suharto, pentas ludruk garingan Cak Markeso, pentas puisi Hamid Jabbar.
Selanjutnya, tahun 1884 terdapat pameran kuningan dari Tumang, Boyolali. Pada tahun yang sana juga berlangsung pameran keramik Dinoyo Malang dan pameran lukisan dari Taman Sari Yogya.
Berawal dari pameran di Bentara Budaya, tidak sedikit seniman atau kelompok kesenian yang menjadi kondang namanya dan menjadi pusat perekonomian lokal untuk komunitas kesenian.
Hal ini terjadi pada kerajinan rotan di Trangsan, Sukoharjo, kerajinan payung yang berada di Juwiring, Klaten. Selain itu, juga terdapat kerajinan kain di Troso, Jepara, serta kerajinan lurik di Cawas, Klaten.
Setelah sepuluh tahun berada di kantor lama dekat TB Gramedia, Bentara Budaya Yogyakarta bergabung dengan kompleks Harian Kompas di Jalan Suroto No. 2 Kotabaru. Pada periode ini selain memberi ruang seni tradisi, Bentara Budaya juga memberi ruang bagi seniman-seniman muda yang potensial.
Di samping itu, Bentara Budaya Yogyakarta juga memiliki kebiasaan baru dengan menampilkan karya-karya lawasan. Lawasan ini juga yang menjadikan Bentara Budaya mencetak katalog berbentuk buku. Buku yang sebenarnya adalah katalog ini diminati masyarakat luas. Beberapa kegiatan Bentara Budaya Yogyakarta juga berupa satire terhadap kehidupan sosial kita yang semakin lama semakin samar.
Arti pertemuan setelah perpindahan kantor Bentara Budaya Yogyakarta ini juga masih mewadahi aktivitas kesenian nyata yang belum bisa diekspresikan langsung oleh para senimannya. Salah satu contohnya adalah pameran “Berburu Celeng” karya Djoko Pekik pada tahun 1998.
Pameran satu karya yang hanya berlangsung satu hari ini menjadi catatan penting dalam dunia seni rupa.
Bukan pada harga karya yang mahal, tetapi pada simbol yang mampu menunjukkan pada masyarakat luas bahwa seni rupa mampu membahasakan peristiwa dan kondisi yang terjadi di negeri ini.
Kemudian, pada tahun 2003 ketika era reformasi sudah berlangsung lima tahun kehidupan ternyata tidak membaik.
Banyak peristiwa dan konflik terjadi di Indonesia, harapan untuk hidup lebih baik ternyata makin menjauh.
Pada tahun itu pula Bentara Budaya Yogyakarta mengadakan pameran tentang “Partai Republik Tulang Belulang dengan Presiden Sumanto, manusia kanibal dari Purbalingga”.
Sekali lagi pameran ini merupakan pesan bagi negeri ini kalau situasi jaman tidak sedang baik – baik saja.
Inilah cara Bentara Budaya Yogyakarta dalam menyuarakan suasana batin masyarakat dan secara tidak langsung menjadi ruang pertemuan bagi banyak kepentingan.
Bentara Budaya Yogyakarta mampu menjadi ruang pertemuan antar beberapa unsur setidaknya pertemuan yang terpendam dari diri hati publik dengan karya seni yang mewakilinya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.