Berita Bali
Nelayan Protes, Ekomarin Minta Akses ke Laut Tak Ditutup, PT BTID Tegaskan Tak Usik Kegiatan Nelayan
Marthin menegaskan, segala pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir harus mengacu pada rencana tata ruang
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Masyarakat dan nelayan Desa Adat Serangan, Denpasar Selatan memprotes pengajuan izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang diajukan PT Bali Turtle Island Development (BTID) kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali.
Mereka menolak rencana tersebut oleh PT BTID karena khawatir wilayah tersebut menjadi eksklusif dan tidak bisa dimanfaatkan nelayan setempat.
Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), Marthin Hadiwinata menuturkan, nelayan bisa tidak dapat mencari hasil laut di sebuah kawasan yang sudah mengantongi PKKPRL.
Marthin menegaskan, segala pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir harus mengacu pada rencana tata ruang yang diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Baca juga: Bahas Soal Akses, Aparatur Desa Serangan Bertemu PT. BTID, Peternak Curhat Sulit Cari Rumput
“Bisa seperti itu (eksklusivitas ruang laut,-Red). Masyarakat nelayan bisa saja nanti tidak bisa melintas atau menangkap ikan karena dibikin kawasan konservasi, kawasan wisata, dan lain-lain,” ujar Marthin kepada awak media, pada Sabtu 4 November 2023.
Dalam RZWP3K tersebut, dikatakan Marthin, pemilik modal harus memastikan adanya ruang penghidupan dan akses untuk nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudidaya ikan kecil, dan petambak garam kecil.
Ruang penghidupan yang dimaksud itu secara jelas diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Pada Pasal 25 ayat (5), disebutkan bahwa ruang penghidupan meliputi; wilayah atau zona menangkap ikan atau membudidayakan ikan; tempat melabuhkan kapal perikanan, dan; tempat tinggal nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudi daya ikan kecil, dan petambak garam kecil.
Oleh karena itu, Marthin menegaskan, kesesuaian tata ruang penghidupan tersebut harus memperhatikan akses untuk nelayan kecil menangkap ikan.
Sehingga, lanjutnya, nelayan dapat memperoleh hasil laut tanpa dibatasi secara teritorial.
“Apakah di situ ruang untuk wilayah tangkap ikan, yang berarti kan tidak bisa serta merta mereka tutup aksesnya. Jadi nelayan kecil ini di dalam UU Perikanan ada kebijakan untuk memberikan kebebasan menangkap ikan di seluruh wilayah Indonesia,” tegas Marthin.
Marthin menyampaikan, jika PKKPRL ini terbit nelayan bisa saja digugat secara perdata apabila melintas di kawasan milik PT BTID di Serangan.
Ia menyebut nelayan bisa saja digugat meskipun mencari ikan di kawasan yang sejatinya merupakan wilayah tangkap mereka.
“Kalau melihatnya pemerintah ini kan punya kewenangan untuk melakukan upaya gugatan perdata. Jadi bukan tidak mungkin kalau misalkan upaya terkait dengan wilayah tangkap ikan dilakukan gugatan,” tuturnya.
Marthin juga menyoroti aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh lebih dari 200 perwakilan warga dan nelayan Desa Adat Serangan di Pantai Serangan, Denpasar Selatan, Senin 30 Oktober 2023 lalu.
Menurut Marthin, penerbitan PKKPRL harus dipertimbangkan secara matang oleh Pemprov Bali melalui konsultasi publik.
Sebagaimana diketahui, PT Bali Turtle Island Development (BTID) tengah mengajukan izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) untuk menguasai ruang darat dan laut Desa Adat Serangan, Denpasar Selatan, Bali.
PKKPRL ini diajukan oleh PT BTID yang menguasai 491 hektare luas Pulau Serangan, ke Pemerintah Provinsi Bali untuk melakukan berbagai pembangunan, salah satunya Pelabuhan Marina.
Di lain sisi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga sudah menginisiasi pembangunan Pelabuhan Marina di Desa Serangan.
Pelabuhan yang diinisiasi Bappenas ini nantinya difungsikan untuk kepentingan umum dan pemasukannya akan dikelola oleh Pemda Bali.
Dikonfirmasi Tribun Bali secara terpisah, Kepala Komunikasi dan Hubungan Masyarakat PT BTID, Zakki Hakim menjelaskan KKPRL adalah soal Pengusahaan, bukan Penguasaan Laut.
Dalam rangka memenuhi peraturan perundangan yang berlaku, maka PT BTID sebagai pengelola KEK Kura Kura Bali mengajukan usulan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) kepada pemerintah untuk membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diwajibkan kepada badan usaha dalam UU Cipta Kerja.
Menurutnya, sebagai Kawasan Ekonomi Khusus yang memiliki rencana kegiatan pariwisata bahari termasuk pengembangan Taman Koral dan Wisata Koral, maka KKPRL wajib diajukan oleh BTID.
Hal ini dikarenakan aturan baru ini mewajibkan BTID sebagai badan usaha untuk membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas areal yang dimanfaatkan.
Aturan ini tidak berlaku bagi nelayan tradisional dalam melakukan kegiatan ekonomi seperti biasa.
“Menurut aturan yang disampaikan Kementerian dan Dinas, masyarakat nelayan tradisional tetap dapat berkegiatan seperti biasa,” kata Zakki.
Kebijakan di atas seharusnya tidak berdampak kepada masyarakat nelayan tradisional yang tetap dapat melakukan kegiatan hariannya, karena kebijakan ini ditujukan oleh pemerintah pusat untuk mendapatkan PNBP dari para pengusaha, badan usaha atau badan hukum yang melakukan kegiatan ekonomi di ruang laut.
Pejabat Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar, Dikor Jupantara, telah meluruskan dalam beberapa kesempatan sosialisasi yang juga dihadiri pimpinan Desa Dinas dan Desa Adat Serangan serta perwakilan Nelayan Serangan, bahwa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) adalah soal “pengusahaan, bukan penguasaan” laut.
BPSPL dalam kesempatan sosialisasi di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali pada 12 September 2023 dan di kantor Dinas Perhubungan pada 25 Oktober 2023 memaparkan bahwa KKPRL ini tidak menghalangi masyarakat nelayan tradisional dalam berkegiatan di laut seperti biasa.
Ia menambahkan, KKPRL ini adalah bagian dari upaya pemerintah dalam mengumpulkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti retribusi.
BPSPL mendasarkan KKPRL pada UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja yang pada pasal 47 menetapkan bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi wajib memiliki perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut.
Menurutnya, izin berusaha dalam hal ini KKPRL merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh badan usaha yang melakukan kegiatan ekonomi di laut, namun tidak berlaku bagi dan tidak mempengaruhi akses nelayan tradisional dalam berkegiatan ekonomi di wilayah yang sama.
Dengan adanya banyak kegiatan budidaya komersial di ruang laut, maka diperlukan penataan KKPRL oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), sehingga nantinya tidak ada tumpang tindih dan semua kegiatan dapat berjalan beriringan dan saling menguntungkan.
Pihak BPSPL juga telah melakukan setidaknya dua kali sosialisasi mengenai KKPRL dan topik lain terkait kelautan dan perikanan di Desa Serangan, dan juga menerima audiensi tersendiri dari para pimpinan dan perwakilan nelayan Desa Serangan.(*)
Kumpulan Artikel Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.