Wawancara Khusus

Politikus Partai Gelora Yadi Surya Diputra: Artinya Utak-atik Itu Ada

Ketatnya sistem penyelenggaraan pemilu dengan adanya saksi-saksi dan polisi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebetulnya tidak bisa suara diutak

Editor: Putu Kartika Viktriani
Kompas/Mahdi Muhammad
Ilustrasi Pemilu - Ketatnya sistem penyelenggaraan pemilu dengan adanya saksi-saksi dan polisi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebetulnya tidak bisa suara diutak-atik pasca pemilu. 

TRIBUN-BALI.COM - Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelora, Yadi Surya Diputra mengatakan rumus rekapitulasi mudah hanya memakai matematika sederhana pertambahan.

Ketatnya sistem penyelenggaraan pemilu dengan adanya saksi-saksi dan polisi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebetulnya tidak bisa suara diutak-atik pasca pemilu.

“Tiba-tiba ribut sampai pada seharusnya sudah rekapitulasi kabupaten tetapi akumulasi antar TPS itu nggak selesai-selesai. Rumusnya tidak ada tambah yang ada pengurangan. Artinya utak-atik ada. Kalau dibilang ada utak-atiknya caranya bagaimana,” katanya dalam podcast bertajuk Utak-Atik Peroleha Suara Parpol dan Caleg Hasil Pemungutan Suara Pemilu 2024 di Kantor Tribun Network, Jakarta, Jumat 15 Maret 2024.

Berikut Wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Yadi Surya Diputra:

Hasil rekapitulasi sementara Partai Gelora sebagai partai baru memperoleh suara sekitar 1,49 persen, Bisa cerita bagaimana parpol Anda menjaga suaranya?

Saya mau tarik sedikit tema utak-atik suara ini secara locus delicti-nya berarti pasca pencoblosan.

Kalau kita bilang tidak ada utak-atik pasca pencoblosan susah juga, karena begitu ketatnya sistem, begitu ketatnya penyelenggara dan pemain.

Di setiap tingkatkan ada orang, semua tingkatan pegang salinan hasil tidak hanya satu lembaga, semua pemain pegang, ada saksi, ada Bawaslu, ada polisi semua pegang. Itu permainannya di mana pasca pencoblosan di TPS.

Baca juga: SAH, Hasil Rekapitulasi Pemilihan DPD RI Dapil Bali Pemilu 2024, Ini 4 Nama yang Lolos

Tapi kalau kita bilang ada utak-atik, Sirekap ini rumus matematika sederhana hanya satu kode di dalam kalkulator yang dipakai di dalam perhitungan ‘plus’. Ini kan penjumlahan sederhana dari TPS yang dihitung kemudian direkap di kecamatan, itu tambah saja nggak ada minus, nggak boleh ada.

Tiba-tiba di mana-mana ribut sampai pada fase seharusnya sudah rekapitulasi kabupaten tapi masih ada kecamatan yang belum kunjung selesai karena akumulasi antar rekap TPS di kecamatan itu nggak selesai-selesai.

Rumusnya tidak ada lagi tambah jadi ada pengurangan.

Ini rumus penjumlahan sederhana nggak boleh ada ribut-ribut tapi lho kok ini ada ribut artinya utak atik itu ada.

Kalau dibilang ada cara utak-atiknya bagaimana.

Nah itulah sangat disesali sebetulnya Sirekap itu kunci utama satu data publik yang itu dilegalkan berbasis Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dan itu adalah perkembangan paling maju dari kita mengawal suara rakyat.

Kita bisa langsung tunjuk hidung di TPS A misalnya sudah ada C hasilnya yang sudah diupload.

Makanya seharusnya dengan Sirekap itu kita sudah harus tahu semua nggak ada lagi permainan setelah.

Makanya kelemahan hari ini adanya utak atik itu juga karena Sirekap tidak berjalan sempurna.

Saya kira Sirekap ini ide dari pengembangan Situng (Sistem Informasi Penghitungan) manual saat itu, yang manual kok jago nggak ada deviasi yang cukup signifikan.

Dan kita bisa mengadili diri kita dihadapan Situng saat itu.

Nah ini Sirekap anggaranya lebih besar gila-gilaan penyelenggaraan pemilu itu di atas Rp 107 triliun gabungan KPU dengan Bawaslu.

Dan itu kemarahan saya partai kecil, kami ditetapkan sebagai parpol Februari 2023, kami nggak diapa-apain sampai kampanye November 2023.

Anggaran yang besar itu seharusnya dipakai untuk mensosialisasikan kami dong partai kecil.

Pemilu itu ruang kontestasi ide, pemilu itu adalah brain surgary bagi para politisi.

Pileg nggak diapa-apain, orang semua terkonsentrasi pada Pilpres.

Party ID masyarakat kita rendah di bawah 50 persen ini lah yang membuat kekacauan Pemilu yang paling utama dari pra pencoblosan sampai pasca pencoblosan akibat dari pilegnya.

Kalau pilpres saya kira nggak ada masalah karena hanya tiga calon.

Sementara pileg ada 10 kursi dari 18 partai yang diperebutkan artinya ada 180 orang bertarung head-to-head sesama partai juga.

Itu yang membuat masyarakat tidak punya cukup waktu mengetahui caleg sehingga semakin banyak uang masuk itulah yang dipilih.

Makanya jauh antara rakyat dengan wakilnya. Utak-atik saya yakin ada di dalam kasus Pileg.

Anda belum menjawab pertanyaan bagaimana Gelora mengawal suara di Pileg?

Tentu Gelora itu kami tidak ada saksi yang di 840 ribu TPS kalau kita harus membiayai dua saksi kira-kira satu saksi itu dibayar Rp 300 ribu dikalikan dua Rp 600 ribu.

Berarti untuk keseluruhan harus menyediakan Rp 480 miliar.

Enggak punya uang kami untuk saksi. Makanya agak lucu partai yang menyatakan lengkap saksi di seluruh TPS.

Gelora kami alhamdulilah seluruh caleg kami di tingkat dua adalah para petarung.

Jadi mereka yang menetapkan saksi tidak di semua TPS.

Jadi caleg menaruh saksi di daerah yang basis suaranya sehingga perlu dijaga untuk mengamankan suaranya.

Dalam proses pengawalan dari TPS kemudian rekapitulasi kecamatan hingga rekapitulasi kabupaten.

Di jenjang ini kami Partai Gelora di banyak tempat suaranya beda-beda.

Semisal di kecamatan A suaranya 500 kemudian naik ke D itu suara sudah berubah turun. Banyak juga suara Gelora yang hilang, pun di beberapa tempat ada suara Gelora yang naik.

Apakah Partai Gelora punya semua salinan C hasil?

Kami tidak punya struktur di seluruh tingkatan kabupaten artinya tidak semua tempat. Bagi partai yang tidak bisa menyediakan saksi cukup bersurat.

KPU punya kewajiban itu. Kapasitas partai baru untuk memenuhi struktur tidak di 100 persen kabupaten.

Menurut Anda apa yang perlu kita lakukan di dalam proses Sirekap atau segala bentuk IT yang ada di KPU?

Jadi saya betul-betul sangat menyayangkan KPU tidak melanjutkan kritik publik.

KPU mengapa harus takut dengan serangan publik padahal Sirekap itu diniatkan untuk perang untuk battle lahan orang berperang.

Sehingga ketika ada serangan ya wajar memang karena orang sengaja bisa melihat itu.

Di Sirekap itu orang bisa melihat dengan telanjang dada dan orang bisa bercermin.

Ini lho datanya, ini lho hasilnya, oh di dalam datanya 10 di dalam hasilnya 100.

Ketika ada serangan koreksi dong, develop dong sistemnya.

Dituduhlah curang, yang dituduh curang kadang dari kubu saya kami di pileg oke sedang ikut jenjang perhitungan.

Tapi di pilpres kami menang, saya jubir TKN 02.

Kadang kelemahan sistem itu dituduh lagi 02 Prabowo-Gibran yang memainkan segala macam.

Itu yang maksud saya adalah Sirekap itu bentuk maju pertanggung jawaban kita dari setiap suara rakyat.

Bahwa serangan-serangan yang itu bukan untuk ditutup.

Kalau memang berniat curang buat apa itu ditampilkan justru karena itu ditampilkan supaya kita sama-sama punya sistem koreksi, semua pegang C-hasil, KPU punya Sirekap.

Untuk itulah datang serangan dan kritik, ya memang diniatkan untuk dikritik.

Saya menilai lanjutkan Sirekap jangan disetop.

Sekarang kita ini kaya kucing dalam karung, nggak tahu apa-apa gelap peta buta semua.

Kemarin ada di Bantul mengkritik Sirekap sekarang bingung nggak punya akses apa-apa.

Semua menyesal itu karena KPU menutup Sirekap. (Tribun Network/Reynas Abdila)

(*)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved