Serba Serbi

Meninggal Ulah Pati, Ini Hukuman dan Dosa dalam Ajaran Hindu, Saatnya Tingkatkan Bhakti Srada

Meninggal Ulah Pati, Ini Hukuman dan Dosa dalam Ajaran Hindu, Saatnya Tingkatkan Bhakti Srada

|
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Putu Kartika Viktriani
kompas.com
Ilustrasi - Meninggal Ulah Pati, Ini Hukuman dan Dosa dalam Ajaran Hindu, Saatnya Tingkatkan Bhakti Srada 

TRIBUN-BALI.COM - Akhir-akhir ini marak kasus meninggal dengan cara mengakhiri hidupnya alias ulah pati di Bali.

Banyak orang memilih jalan pintas untuk mengatasi masalah dan beban hidupnya dengan ulah pati.

Padahal, dalam Agama Hindu sudah dijelaskan bahwa mengakhiri hidup dengan ulah pati merupakan dosa besar.

Seperti apa pandangan Hindu terkait meninggal ulah pati ini, dan bagaimana agar umat Hindu tak mengambil jalan pintas tersebut?

Berikut penjelasan Rektor UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, Prof I Gusti Ngurah Sudiana, kepada Tribun Bali belum lama ini.

"Ngulah pati itu kan bunuh diri, saya baca di beberapa buku. Terutama di Parasara Dharmasastra."

"Orang yang bunuh diri itu adalah orang yang hendak mempercepat kematiannya," jelas guru besar ini kepada Tribun Bali.

Lebih lanjut, Prof Sudiana, mengatakan orang yang membunuh dirinya sendiri, maka rohnya di alam kegelapan di neraka akan menetap selama 60 ribu tahun.

 

Bahkan dijelaskan dalam lontar, orang yang menemukan orang bunuh diri, menolongnya, membawa ke kuburan, dan menyelesaikan upacaranya juga ikut mendapatkan dosa akibat bunuh diri ini.

"Demikian menurut lontar Parasara Dharmasastra, jadi dampaknya sangat luar biasa," tegasnya. 

Baca juga: Minta Maaf Sambil Menangis, Mantan Pacar Ayu Miranda Bantah Punya Kekasih Baru dan Akan Menikah

Maka untuk orang yang bunuh diri, mengambil jalan pintas tidaklah menyelesaikan masalah.

"Justru orang yang bunuh diri menambah masalah dari sang hyang atmanya," imbuh Prof. Sudiana.

Bahkan juga menambah dosa bagi orang lain yang berhubungan dengan si pelaku bunuh diri. 

Ia pun mengingatkan, umat sedharma, khususnya Hindu di Bali.

Agar berpikir 1.000 kali sebelum bunuh diri, karena akan merugikan dirinya sendiri, keluarga, bahkan orang lain.

Mulai dari yang menemukan, melihat, mengupacarai, dan yang mengurus mayatnya hingga ngaben.

Semuanya terkena dosa. 

Pada zaman dahulu, kata dia, seseorang yang bunuh diri tidak boleh diupacarai atau langsung ngaben.

Orang yang bunuh diri harus dikubur terlebih dahulu, atau dalam bahasa Bali dipendem di dalam tanah di setra.

"Bahkan di beberapa desa, seseorang yang bunuh diri maka dikuburkan di tempat berbeda dengan yang meninggal wajar," tegasnya.

Lanjut mantan Ketua PHDI Bali ini, ada perbedaan besar antara meninggal wajar, ngulah pati, dan salah pati.

"Kalau salah pati, adalah kematian yang tidak disengaja, semisal karena kecelakaan.

Berbeda dengan ngulah pati," jelasnya.

Seseorang yang meninggal salah pati, hanya perlu ngulapin di lokasi kecelakaan. 

Serta ada aturan berbeda saat ngabennya.

"Nah dalam keputusan parisadha, orang yang salah pati dan ngulah pati.

Kini dianggap 'kadi wong mati bener' atau dalam artian diupacarai selayaknya seseorang yang meninggal wajar biasa," sebutnya. 

Perubahan ini dilakukan, karena kalau digunakan landasan lontar-lontar kuno di Bali, atau lontar lama.

Rasanya memberikan perbedaan yang sangat berjarak antara seseorang yang meninggal wajar, salah pati, dan ngulah pati.

Semua ini telah diputuskan dalam pesamuan parisadha, melihat sisi humanismenya.

Hanya saja memang ada banten tambahannya, seperti banten pengulapan, guru piduka, pabersihan, dan upakara sebagainya sesuai aturan atau awig-awig. 

Sehingga dengan banten tambahan pada upacara ngaben ini, maka seseorang yang meninggal tidak wajar rohnya bisa tenang.

Tidak akan diam di tempat ia meninggal.

Dalam keputusan parisadha, seseorang yang ngulah pati atau salah pati seharusnya memang dikubur terlebih dahulu.

Namun ada keluarga yang ingin agar mayatnya segera diaben. 

Perubahan tradisi ini dimaklumi, asal sesuai aturan dan awig-awig yang berlaku, serta disetujui prajuru adat baik di banjar maupun di desa.  

"Sekarang memang ada yang langsung diupacarai, tetapi ada yang langsung dipendem," ujarnya.

Menurut lontar-lontar kuno di Bali, Prof. Sudiana menjelaskan esensi harus dipendem atau dikubur itu tidak diterangkan lebih jauh.

Hanya saja berdasarkan persepsi para pemuka agama, analisanya adalah agar rohnya bisa melihat badan kasarnya (jasad) lebih lama. 

Lontar Yama Purana Tatwa, imbuh dia, menyebutkan bahwa setelah dikubur tiga tahun, baru boleh diupacarai (ngaben) jasad dari kematian akibat ngulah pati itu.

Sehingga jasadnya dapat diam di ibu pertiwi untuk sementara waktu.

Sebelum dibakar dalam upacara ngaben. 

Jika seseorang yang ngulah pati, tempatnya puluhan ribu tahun di neraka.

Tidak demikian dengan seseorang yang meninggal salah pati.

"Kalau salah pati, layaknya meninggal pada umumnya. Hanya saja ada upacaranya lagi," jelasnya.

Sebab salah pati adalah kematian yang tidak terduga dan tidak bisa ditentukan. 

Sedangkan ngulah pati adalah kematian yang direncanakan dengan membunuh dirinya sendiri.

Hal ini adalah dosa.

Dan banten yang diperlukan juga sangat besar.

"Karena ada banten pecaruan di tempat meninggal, banten pabersihan, pengulapan, dan lain sebagainya," tegas Prof. Sudiana. 

Sementara itu, roh pada seseorang yang meninggal ngulah pati, ataupun salah pati jika tidak diupacarai dengan benar semisal pengulapan.

Menurut beberapa lontar, rohnya diperkirakan bisa berjalan tidak karuan. 

Makanya di bale banjar di Bali itu, dibuatkanlah Pelinggih Pan Balang Tamak.

Kalau ada roh gentayangan atau penasaran, roh ini akan tangkil di pelinggih ini.

Ibaratnya tempat singgah bagi roh tanpa tujuan ini.

Apabila mati wajar atau biasa, rohnya memang tidak jauh dari jasadnya.

Sedangkan jika ngulah atau salah pati, maka rohnya bisa berdiam di lokasi ia meninggal, lalu setelah berapa lama ke sana-ke mari kalau tidak diupacarai.

Bisa mengganggu dan membuat ketidakharmonisan alam.

Berkaitan dengan bunuh diri ini, yang kerap dianggap jalan keluar dari masalah adalah salah besar.

Prof. Sudiana mengatakan bahwa umat Hindu harus banyak meningkatkan Sradha Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Memohon ampunan dan petunjuk Tuhan, agar diberikan jalan keluar dari segala bentuk masalah.

Sehingga tidak mengambil jalan pintas.

"Minimal berkonsultasi dengan orang yang dipercaya, serta mampu memberikan perlindungan.

Bisa memberikan pencerahan sehingga tidak sampai bunuh diri," tegasnya.

(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Medium

Large

Larger

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved