Setoran Pajak Baru Tercapai 19,81 Persen, Pemerintah Urgen Gali Potensi Penerimaan Pajak Baru
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 393,91 triliun hingga Maret 2024.
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 393,91 triliun hingga Maret 2024.
Angka ini terkoreksi 8,8 persen secara tahunan atau baru mencapai 19,81 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Melihat angka yang terkoreksi dalam tersebut, otoritas pajak dinilai perlu menggali lagi potensi penerimaan pajak baru.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar mengatakan, ada potensi penerimaan pajak baru yang belum disentuh karena dibatasi regulasi. Misalnya, pada potensi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Menurutnya, masih ada objek PPN yang tidak bisa dipungut karena mendapatkan fasilitas pembebasan atau pengecualian.
Baca juga: Padankan NIK-NPWP Sebelum 30 Juni 2024, Wajib Pajak Lapor SPT Tumbuh 7,8 Persen di Bali
"Kita bicara PPN yang tidak dipungut karena pengusaha punya omzet kurang dari Rp 4,8 miliar. Jadi penerimaan PPN tersebut tidak bisa digali pemerintah karena regulasi ambang batas PKP (Pengusaha kena pajak) PPN," kata Fajry kepada Kontan, Rabu (8/5).
Selain itu, penerimaan pajak juga belum optimal karena adanya aktivitas underground economy atau underground production, yang merujuk pada definisi OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).
"Contohnya para pelaku tambang ilegal atau pembalak hutan ilegal. Tentu, perlu melibatkan aparat penegak hukum dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)," ujarnya.
Jika melihat secara umum, Fajry menyampaikan potensi penerimaan pajak sudah cukup optimal digali oleh otoritas pajak.
Hal ini terlihat dari Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yang diproduksi otoritas pajak dalam beberapa tahun terakhir.
Kendati begitu, ada sektor-sektor yang belum optimal ditarik karena pemberian insentif.
Contohnya pada sektor konstruksi atau pun beberapa insentif bagi korporasi dengan omzet tertentu.
Lalu ada juga pungutan yang belum optimal karena sulit diawasi seperti transaksi yang menggunakan elektronik atau ekonomi digital.
Baca juga: Padankan NIK-NPWP Sebelum 30 Juni 2024, Wajib Pajak Lapor SPT Tumbuh 7,8 Persen di Bali
"Selama ini penggunaan mekanisme platform sebagai pemungut PPN masih terbatas seperti jasa digital dari luar negeri maupun pajak kripto. Untuk marketplace ada risiko. Selain itu, ada risiko dari transaksi yang menggunakan platform tak berizin," kata Fajry.
Sementara itu, Direktur Eksekutif MUC Tax Research, Wahyu Nuryanto menilai ada dua hal yang memengaruhi kinerja penerimaan pajak di awal tahun ini.
Pertama, tingginya restitusi yang terjadi pada kuartal I-2024. Kedua, ada potensi pajak yang belum tergali optimal sehingga penerimaan pajak mengalami penurunan di awal tahun.
Dirinya mengatakan, realisasi penerimaan pajak sepanjang kuartal I-2024 terkontraksi 8,8 persen secara tahunan. Padahal pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2024 tercatat 5,11 persen, atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama sebelumnya 5,04 persen.
"Jadi kinerja pajak berbanding terbalik dengan kinerja ekonominya. Saya kira data perbandingan kinerja pajak dan kinerja ekonomi menunjukkan masih banyak potensi penerimaan pajak yang belum terjangkau otoritas," kata Wahyu kepada Kontan, Rabu (8/5) malam.
Oleh karenanya, penambahan wajib pajak baru menjadi urgent, utamanya dari sektor-sektor yang secara teknis sulit tersentuh sistem perpajakan seperti pertanian dan ekonomi digital.
Di samping itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga perlu serius mengoptimalkan potensi pajak dari wajib pajak orang pribadi non karyawan.
"Pengenaan pajak atas natura merupakan langkah yang baik, namun perlu dioptimalkan. Termasuk melakukan pembatasan transaksi tunai dan perlu juga mempertimbangkan untuk mengenakan pajak atas warisan," terangnya.
Di sisi lain, Wahyu menilai pemerintah terlalu mengandalkan penerimaan negara dari korporasi yang pertumbuhannya relatif tidak semasif dengan pertumbuhan jumlah wajib pajak orang pribadi.
Baca juga: Pemadanan NIK-NPWP Capai 84.25 Persen di Bali, Penerimaan Pajak Capai Rp 3.42 Triliun
Oleh karenanya, jika ingin mendorong pertumbuhan penerimaan pajak agar meningkat dan berkelanjutan maka pengoptimalan data menjadi sangat relevan.
Sehingga diharapkan terjadi pergeseran kontribusi penerimaan pajak, yang selama ini didominasi wajib pajak badan ke wajib pajak orang pribadi.
"Integrasi data NIK-NPWP merupakan kebijakan strategis yang perlu didorong untuk segera diselesaikan. Tidak hanya integrasi data, wajib pajak orang pribadi juga harus diberi ruang agar bisa lebih mudah melaksanakan kepatuhan perpajakannya. Karenanya saya berharap coretax system yang dikembangkan pemerintah bisa segera diterapkan," imbuh Wahyu. (kontan)
Seret Rasio Pajak Daerah
RASIO pajak daerah atau local tax ratio secara nasional baru menyentuh angka 1,3 persen pada 2023.
Angka tersebut masih perlu dioptimalkan atau setidaknya berada di angka 3 persen, sesuai dengan amanah Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar mengimbau agar Pemerintah Daerah (Pemda) untuk kreatif dan konsisten dalam mendorong rasio pajak daerah. Untuk itu, kerja sama dengan unit vertikal sangat penting dilakukan.
Selain itu, pemutakhiran data dan modernisasi teknik pengumpulan data pajak daerah perlu dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga dan instansi lain seperti Polda, Kementerian ATR & BPN, KPK, BPK, dan lainnya.
Kemudian, diperlukan kemudahan sistem administrasi melalui pembayaran pajak dengan fitur perbankan dan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) lainnya.
"Terakhir efektivitas dan efisiensi proses pengawasan dan penegakan hukum PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah), bekerja sama dengan institusi penegak hukum," ujar Fajry kepada Kontan, Selasa (7/5).
Fajry menjelaskan, rendahnya rasio pajak daerah karena oleh basis pajak dari instrumen pajak daerah yang terbatas. Sebab, sebagian besar basis pajak daerah sudah dikenakan pajak pusat.
Menurutnya, pajak daerah hanya dikenakan atas objek tertentu seperti kendaraan bermotor, hiburan, restoran dan sebagainya yang membuat basis pajak daerah sempit.
Berbeda dengan pajak pusat yang basisnya luas seperti penjualan.
Di sisi lain, hanya ada sedikit ruang untuk menambah basis pajak atau jenis pajak baru. Sehingga, kalau dipaksakan untuk ditambahkan bisa berakibat beban pajak yang terlalu tinggi. "Ini tidak baik untuk iklim usaha di Indonesia," terangnya.
Kendati demikian, ia menerangkan memang ada sejumlah potensi pajak daerah yang belum tergali seperti masih banyaknya rumah makan yang belum terjamah pajak daerah dan potensi pajak dari retribusi parkir.
Sedangkan sistem administrasi melalui digitalisasi juga lumrah di pelosok sekalipun, hanya saja tinggal Sumber Daya Manusia (SDM) yang melakukan monitoring.
"Terakhir, soal penegakan hukum butuh komitmen tinggi untuk menciptakan sistem administrasi guna meminimalisir celah fraud ataupun penindakan terhadap yang tidak patuh," ujarnya.
Baca juga: Pj Bupati Klungkung Serahkan Penghargaan Kepada Hotel dan Restoran Taat Bayar Pajak
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono mengatakan ada dua faktor yang memengaruhi rasio pajak daerah.
Pertama, kemampuan pemerintah daerah mengumpulkan pajak. Kedua, dipengaruhi oleh Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). "Rasio pajak rendah karena pertumbuhan penerimaan pajak lebih lambat dari pertumbuhan PDRB," kata Prianto kepada Kontan (7/5) malam.
Untuk mendorong rasio pajak daerah, pemerintah perlu mengoptimalkan penggunaan teknologi, seperti penggunaan tapping box di gerai-gerai yang menjadi tempat pembayaran pajak konsumsi, seperti hotel dan restoran. \
"Contoh lainnya adalah peningkatan kerja sama dengan komunitas kendaraan bermotor seperti supercar atau motor gede (moge)," tutupnya.
Selain itu, local tax ratio akan terkerek jika ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak daerah terus dilakukan dan tingkat pertumbuhannya harus lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB.
Kontan/Baihaki
PUSAT PERBELANJAAN - .
SEKTOR Manufaktur Merosot ke Level 46,9, Dampak Penurunan Permintaan Barang Produksi dalam Negeri |
![]() |
---|
Jokowi Beri 2 Jempol untuk Prabowo, Presiden Sempat Batuk Saat Pidato APBN 2026 |
![]() |
---|
Fraksi Gerindra Badung Minta Belanja Daerah Diprioritaskan Untuk Penanganan Sampah |
![]() |
---|
TERKINI! Ribuan Peserta JKN dari APBN Dinonaktifkan, Suwirta: Hak Warga Miskin Jangan Sampai Hilang |
![]() |
---|
KUR di Bali Nusra Capai Rp7,1 Triliun, Kemenkeu: Realisasi Penyaluran KUR Capai Rp110,1 Triliun |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.