Berita Bali

Soroti Tema WWF ke-10, WALHI Bali : Hentikan Proyek Yang Merusak Subak dan Rakus Air

Soroti Tema WWF ke-10, WALHI Bali : Hentikan Proyek Yang Merusak Subak dan Rakus Air

Tribun Bali
Pembangunan jalan tol Mengwi-Gilimanuk. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali menyoroti masifnya pembangunan akomodasi hotel dan infrastruktur di Bali yang disinyalir membuat krisis air di Bali yang layak mendapatkan perhatian dalam World Water Forum (WWF) ke-10 tahun 2024. 

KTT ini merupakan forum internasional yang diadakan oleh World Water Council atau dewan air dunia yang memiliki komitmen untuk membahas tentang isu-isu air secara global demi kepentingan bersama.

Dan pertemuan kali ini mengambil tema Water for Shared Prosperity yaitu pengelolaan air secara berkelanjutan dan inklusif, bahwa air merupakan urat nadi kehidupan semua makhluk sehingga perlu pengelolaan yang bijak. 

Momentum KTT WWF ini menegaskan peran strategis indonesia dalam mendorong pengelolahan air untuk kesejahteraan bersama, hal ini mendapat sorotan tajam Walhi yang bergerak diisu lingkungan. 

Hal ini disampaikan oleh Direktur Walhi Bali Made Krisna Dinata saat dihubungi Tribun Bali melalui sambungan telepon, pada Minggu 19 Mei 2024. 

"Salah satu tantangannya hari ini yang mengkhawatirkan adalah Bali dIprediksi krisis air tahun 2025 karena masifnya pembangunan akomodasi pariwisata, lalu juga Bali telah mengalami overtourism dan overbuild di wilayah Bali Selatan," kata pria yang karib disapa Krisna Bokis ini.

Baca juga: Tingkat Hunian dan Restoran Capai 60 Persen, Okupansi Hotel Karangasem Meroket Kecipratan WWF 2024

Kata dia, tidak bisa ditampik bahwa pariwisata menjadi tulang punggung utama perekonomian Bali, namun ibarat pisau bermata dua yangmana Pariwisata merupakan industri yang acapkali mendegradasi lingkungan alam Bali dan dibangun dengan melabrak berbagai peraturan-peraturan yang berlaku.

"Hotel adalah industri paling rakus akan air, dari catatan kami banyak hotel yang dibangun, seperti di Ubud ada hotel yang dibangun di kawasan lahan perkebunan, lalu ada akomodasi yang beroperasi namun belum memiliki AMDAL atau izin lingkungan yang dinyatakan layak namun sudah berani beroperasi, di Sanur ada hotel yang juga telah melakukan kontruksi yang belum melengkapi izin," bebernya.

Ia menjelaskan, sejalan dengan itu, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, pembangunan hotel  di Bali mengalami peningkatan signifikan dari  tahun 2.000-an sebanyak 113 meningkat tajam menjadi 541 hotel pada 2023, begitupun dengan komparasi jumlah kamar pada tahun 2.000 jumlah kamar berjumlah 19.529  dan  meningkat dengan signifikan dua hingga tiga kali lipat  sebanyak 54.184 di tahun 2023.

"Jumlah hotel di Bali meningkat 2 hingga 3 kali lipat, hasil riset beberapa penelitian mengenai analisis penggunaan air tanah untuk kebutuhan domestik dan pariwisata menyebutkan per kamar hotel per bed bisa menghabiskan 800 liter air, bahkan menurut Perumda Air Tirta Mangutama sangat banyak Hotel besar yang hanya memasang pipa sebagai formalitas semata dan menggunakan air bawah tanah yang tentunya akan menambah beban lingkungan dan ketersediaan air" kata dia.

"Bisa ditarik kesimpulan bahwa pertumbuhan hotel industri pariwisata adalah sebuah industri yang mengonsumsi air paling banyak di Bali," sambungnya. 

Ia menyebut, dari gelaran WWF sebelumnya belum mampu menjawab tantangan-tantangan kasus pembangunan infrastruktur yang mendegradasi tata kelola air. 

Pembangunan Infrastruktur yang menyebabkan alih fungsi lahan dan mengurangi jumlah subak di Bali tentunya merupakan hal nyata yang mengantarkan Bali pada krisis air. 

Terlebih banyak temuan jika Akomodasi pariwisata lebih banyak menggunakan air bawah tanah (ABT) ditambah dengan peruntukan kawasan hujau yang hingga kini tidak memenuhi kriteria sebanyak 30 persen sesuai luas wilayah dalam ketentuan peraturannya. 

"Contohnya pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi menggunakan 480,54 hektare lahan sawah produktif, terdapat wilayah subak di sepanjang lokasi pembangunan sebanyak 98 Subak yang terancam diterabas, lalu pembangunan pelabuhan terintegrasi Sangsit di Bali Utara, memakan kurang lebih 26.193 meter persegi lahan persawahan produktif terancam tergerus yang berdampak pada hilangnya 4 subak di kawasan tersebut, belum lagi pembangunan Pusat Kebudayaan Bali di Klungkung yang menerabas  mengalih fungsikan lahan persawahan 9,38 Hektar dan telah berdampak terhadap subak yakni Subak Gunaksa," jabarnya.

Ia menyebut, Bali, sejatinya memiliki tata kelola epic yang dikenal dengan istilah Subak yang merupakan metode irigasi tradisional bahkan dengan konsep  yang menghargai sekala niskala dengan falsafah Tri Hita Karana yang mana terdapat bagian Parahyangan, Pawongan dan Palemahan di dalamnya. 

"Jaringan sistem irigasi tradisional bagaimana menghormati Tuhan mewujudkan harmonis dengan alam, sangat lekat dengan masyarakat yang agraris, subak ini ada dua yakni subak basah dan subak kering, ini menjawab tata kelola air," bebernya. 

"Proyek-proyek tersebut justru mengancam Water Security and Prosperity (Keamanan dan kemakmuran air) yang tentunya akan berdampak pada peruntukan pertanian tanaman pangan hingga degradasi budaya dan hilangnya subak yang ada di tapak proyek tersebut" sambung Krisna.

Lebih jauh Subak dengan fungsi hidrologisnya merupakan salah tampungan alami bagi air.

Setiap hektarnya mampu menampung air sebanyak 3000 ton bila air tingginya 7 centimeter.

Apabila subak terus berkurang dan habis maka secara langsung Bali akan mudah diterpa bencana, seperti banjir. 

Banyak pembangunan infrastruktur ekstraktif yang dibangun dengan mengorbankan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta tata kelola air subak yang ada di Bali.

"Tentu saja melalui penghentian proyek-proyek yang merusak Subak serta Lingkungan harus ditolak dan dihentikan guna mewujudkan keberlangsungan ketersediaan air dan tata kelola air yang baik di Bali". 

(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved