Jeritan Pekerja di Bali Soal Potong Gaji untuk Tapera, Dinilai Memberatkan dan Tak Memihak Rakyat

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jembrana menyatakan kekecewaannya terhadap program pemerintah terkait tabungan perumahan rakyat (Tapera).

|
Istimewa
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani - Jeritan Pekerja di Bali Soal Potong Gaji untuk Tapera, Dinilai Memberatkan dan Tak Memihak Rakyat 

TRIBUN-BALI.COM, NEGARA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jembrana menyatakan kekecewaannya terhadap program pemerintah terkait tabungan perumahan rakyat (Tapera).

Sebab, program yang memotong 2,5 persen gaji ini belum "clear". Selain dinilai bakal sangat memberatkan pekerja, seharusnya ada ruang komunikasi antara pekerja, pemberi kerja dan pemerintah sebelum ditetapkan.

Hal senada disampaikan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Tabanan.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jembrana, Sukirman menegaskan, pemotongan gaji para pekerja untuk Tapera adalah kebijakan sepihak.

Baca juga: Pekerja Bali Kecewa Pemerintah, Pemotongan Gaji untuk Tapera Dinilai Keputusan Sepihak

Sebab, 2,5 persen gaji pekerja bakal dipotong tanpa melalui pembahasan antara pekerja, pengusaha dan pemerintah.

"Jadi Tapera itu harus di-clearkan lebih dahulu. Artinya pemerintah seharusnya bicarakan hal ini dengan pekerja dan pengusaha. Saat ini kan terkesan sepihak," kata Sukirman, Rabu (29/5).

Menurutnya, meskipun sebagian besar pekerja saat ini belum memiliki rumah secara mandiri, namun skema dengan program Tapera ini belum jelas peruntukannya.

Pekerja tentunya mempertanyakan jaminan apa yang bisa meyakinkan seorang pekerja bakal rela gajinya dipotong.

"Pekerja memang membutuhkan rumah, tapi dengan pemotongan itu, jaminannya seperti apa? Apakah sudah disiapkan polanya? Satu tahun diberikan jaminan apa. Tapi kalau pemotongan gaji digunakan untuk perumahan yang notabene untuk kepentingan negara bisa berpotensi tidak jelas. Tapera harus disosialisasikan terlebih dahulu. Jangan langsung disahkan. Justru ini akan memperumit masalah, apalagi ini masih bentuknya PP," tegasnya.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Kabupaten Tabanan, I Ketut Budiarsa mengaku keberatan dengan iuran tiga persen pemotongan gaji untuk Tapera.

Apalagi, sudah ada pemotongan Jamsostek, BPJS dan kembali akan dipotong lagi. Terlebih, penerapan pengupahan perusahaan masih dengan UMK, yang membuat pekerja merasa keberatan.

“Memang (mungkin) program pemerintah ini baik. Saya pribadi mengakui ini baik. Tapi, aturan mainnya harus jelas dulu. Pekerja yang sudah punya rumah bagaimana? Kami merasa keberatan, karena pengupahan kita juga berdasarkan UMK,” ucapnya, Rabu (29/5).

Baca juga: KETUA DPD REI Bali : Program Tapera Bagus Asal Tidak Menyusahkan Rakyat!

Kata Budiarsa, dari sisi pekerja segala bentuk jaminan ketengakerjaan dan kesehatan pun sudah ada potongan. Melihat kondisi itu saja, sudah tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga.

Perusahaan di daerah pun, katanya, belum mengerti penuh soal Tapera. Sebab sosialisasi belum sampai ke daerah-daerah. Hanya di kota-kota besar yang sudah booming.

Penerapan Tapera, sambungnya, seharusnya melihat tolok ukur pekerja di bawah.

Alasannya, hingga saat ini, Perusahaan masih menerapkan pengupahan dengan UMK terus-menerus. Perusahaan tidak menerapkan struktur skala upah.

“Kalau itu berjalan (skala upah) sebenarnya tidak masalah. Karena kemampuan membayar itu berdasarkan struktur skala upah tersebut. Misalnya saja, dilihat dari jabatan, dan masa kerja. Dari tahun ke tahun, yang terjadi pekerja itu tetap mendapatkan pengupahan UMK sebagai gaji. Dan dengan digaji seperti itu, maka itu keberatan, ditambah dengan potongan lagi dan lagi,” tegasnya.

Menurut Budiarsa, saat ini pihaknya masih mengkoordinasikan di internal Kabupaten Tabanan saja, terkait sikap penolakan Tapera.

Rencananya, pihaknya akan sharing dan sounding ke Provinsi, atau DPD KSPSI Bali untuk menyikapi. Pihaknya berharap, gerakan nantinya harus satu langkah untuk menyuarakan.

“Pekerja-pekerja belum secara resmi mengaku berat. Akan tetapi pembicaraan sudah ada. Misalnya mengaku, kalau harus dipotong lagi hanya personal yang mengaku berat. Kami akan pro aktif untuk gerak langkah ke depan,” bebernya.

Baca juga: Serikat Pekerja di Jembrana Nilai Pemerintah Sepihak, Terkait Pemotongan Gaji untuk Tapera

Untuk diketahui, iuran Tapera ini menjadi sorotan publik, karena memotong gaji pekerja baik PNS maupun swasta sebesar tiga persen.

Tapera sendiri mengacu pada PP No 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP No 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diteken Jokowi pada 20 Mei 2024.

Simpanan peserta Tapera ditetapkan sebesar tiga persen dari gaji atau upah peserta, atau penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.

Terpisah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak pemberlakuan PP No 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP No 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menyatakan, sejak munculnya UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat pihaknya sudah menolak diberlakukannya UU tersebut.

“Apindo telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera,” ujar Shinta, Rabu (29/5).

Dia mengatakan, Apindo pada dasarnya mendukung kesejahteraan pekerja dengan adanya ketersediaan perumahan bagi pekerja. Hanya saja, PP yang baru disahkan pada 20 Mei 2024 itu menduplikasi program sebelumnya.

“Yaitu manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek,” tutur Shinta.

Dia mengatakan, tambahan beban bagi pekerja 2,5 persen dan pemberi kerja 0,5 persen dari gaji tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan.

Seharusnya, pemerintah dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan, di mana sesuai PP maksimal 30 persen atau Rp 138 triliun, maka maka aset JHT Rp 460 triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan Pekerja.

“Apindo menilai aturan Tapera terbaru semakin menambah beban baru, baik untuk pemberi kerja maupun pekerja,” kata Shinta.

Saat ini beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja dengan rincian, yakni Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Jaminan Hari Tua 3,7 persen; Jaminan Kematian 0,3 persen; Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74 persen; dan Jaminan Pensiun 2 persen.

Baca juga: Soroti Kebijakan Tapera 3 Persen, Pengamat: Ini Membebani Buruh, Karyawan dan Pemberi kerja

Kemudian, pemberi kerja juga membayar Jaminan Sosial Kesehatan yakni Jaminan Kesehatan 4 persen. Selanjutnya, terdapat Cadangan Pesangon sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) sekitar 8 persen.

“Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar,” ujar Shinta.

Apindo telah melakukan sosialisasi kepada developer melalui DPP Real Estate Indonesia (REI) dan juga menginisiasi Kick Off penandatangan kerja sama antara BPJS Ketenagakerjaan dan 2 Bank Himbara (BTN dan BNI) Serta 4 Bank (Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) yaitu Bank Jabar, Jateng, Bali, dan Aceh dalam rangka perluasan manfaat program MLT Perumahan Pekerja.

Shinta menyarankan agar program iuran Tapera lebih tepat sasaran dengan memfokuskan penerapan pada ASN, TNI, Polri yang sepenuhnya ada dalam kontrol pemerintah.

“Pekerja swasta dapat memanfaatkan dana BPJS Ketenagakerjaan untuk memenuhi kebutuhan perumahan mereka,” ujar dia. Dengan demikian, tidak ada tambahan beban iuran yang harus ditanggung oleh pekerja swasta dan pelaku usaha.(mpa/ang/Tribun Network/Reynas Abdila)

Pokok Simpanan Akan Kembali

Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho mengatakan, terbitnya beleid itu merupakan penyempurnaan dari aturan sebelumnya di mana proses pengelolaan Tapera dilakukan melalui penyimpanan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu.

Selanjutnya pembiayaan perumahan itu akan dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

Menurut Heru, perubahan atas PP ini adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan Tapera dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera.

Beberapa hal pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2024 ini mengatur ketentuan diantaranya kewenangan pengaturan Kepesertaan Tapera oleh Kementerian terkait serta pemisahan sumber dana antara dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari dana Tapera.

“Dana yang dikembalikan kepada peserta Tapera ketika masa kepesertaannya berakhir, berupa sejumlah simpanan pokok berikut dengan hasil pemupukannya,” jelas Heru.

Heru menjelaskan, masyarakat yang masuk dalam kategori berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah pertama dapat mengajukan manfaat pembiayaan Tapera, sepanjang telah menjadi peserta Tapera.

Dalam pengelolaan dana Tapera dimaksud, BP Tapera mengedepankan transparansi dan akuntabilitas sesuai prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan mendapat pengawasan langsung dari Komite Tapera, Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan.

BP Tapera dibentuk berdasarkan UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

Tujuannya menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi peserta, serta memiliki fungsi untuk melindungi kepentingan peserta.

BP Tapera mengemban amanah berupa penyaluran pembiayaan perumahan yang berbasis simpanan dengan berlandaskan gotong royong.

Peserta yang yang termasuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat berupa Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR), dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo sendiri telah menetapkan PP No 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP No 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. PP No 25 Tahun 2020 mewajibkan semua pekerja yang memiliki penghasilan senilai upah minimum wajib menjadi peserta Tapera.

Hanya saja ada beberapa kelompok tidak wajib ikut dalam kepesertaan Tapera berdasarkan Pasal 23 PP 25 tahun 2020 di antaranya telah pensiun bagi pekerja, telah mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri, peserta meninggal dunia, peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama 5 tahun berturut-turut. (Tribun Network/Reynas Abdila)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved