bisnis
BAHAYA Utang Pemerintah yang Kian Besar! Analis Ingatkan Risiko yang Perlu Diwaspadai
Mengingat pengalaman krisis moneter 1997-1998, risiko ini tidak bisa dianggap remeh dan perlu diantisipasi dengan kebijakan yang bijak.
TRIBUN-BALI.COM - Utang pemerintah Indonesia yang terus membesar memerlukan perhatian serius. Analis ekonomi politik FINE Institute Kusfiardi mengatakan, meskipun rasio ini masih dianggap aman, ada sejumlah risiko yang perlu diwaspadai, baik dari perspektif teknokrasi maupun politik ekonomi.
Hal ini dikatakan Kusfiardi menyikapi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang meminta masyarakat untuk tidak khawatir terkait utang negara yang mencapai Rp 8.502 triliun atau sekitar 38,68 persen dari PDB.
"Pernyataan Menteri Keuangan yang meminta masyarakat untuk tidak khawatir terhadap utang negara memang bertujuan untuk menenangkan publik. Namun kenyataannya, ketergantungan pada instrumen utang, seperti Surat Berharga Negara (SBN) membawa risiko yang perlu diwaspadai, terutama dalam kondisi pasar obligasi yang fluktuatif," ujar Kusfiardi dalam keterangan tertulis, Jumat (30/8).
Menurutnya, pengelolaan utang yang sebagian besar berbentuk SBN menghadirkan risiko likuiditas yang signifikan. Ketergantungan pada penerbitan SBN, terutama dalam kondisi pasar obligasi yang fluktuatif, dapat meningkatkan biaya pinjaman jika suku bunga global naik.
Baca juga: KABAR BBM Terbaru, 235 SPBU Tak Lagi Jual Pertalite! Pengamat Sebut Harus Dilakukan Hati-hati
Baca juga: Banyak Masyarakat Turun Kasta! Kelas Menengah Butuh Lapangan Kerja dan Upah Layak
"Meskipun Sri Mulyani menyebut rasio utang terhadap PDB masih aman, kita harus memahami bahwa risiko likuiditas dan suku bunga bisa menambah beban fiskal secara signifikan jika tidak dikelola dengan hati-hati," jelas Kusfiardi.
Hal ini dikhawatirkan akan menyedot anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk sektor-sektor vital, seperti infrastruktur, kesehatan dan pendidikan, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Kusfiardi bilang, selain itu, utang luar negeri yang cukup besar juga membawa risiko terkait fluktuasi nilai tukar. Dalam situasi depresiasi rupiah, beban pembayaran utang luar negeri bisa meningkat drastis, yang berpotensi memicu inflasi dan memperburuk defisit anggaran.
"Sri Mulyani mungkin benar bahwa utang merupakan instrumen penting dalam pengelolaan fiskal, namun kita tidak bisa mengabaikan potensi bahaya dari depresiasi mata uang dan meningkatnya beban utang luar negeri yang dapat memperburuk defisit anggaran," kata Kusfiardi.
Mengingat pengalaman krisis moneter 1997-1998, risiko ini tidak bisa dianggap remeh dan perlu diantisipasi dengan kebijakan yang bijak.
Efektivitas penggunaan utang juga menjadi perhatian utama. Data menunjukkan bahwa sebagian besar utang digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur dan program sosial. Namun, efektivitas dari proyek-proyek ini masih dipertanyakan.
"Saat Menteri Keuangan menyatakan bahwa utang pemerintah digunakan untuk proyek infrastruktur dan program sosial, kita perlu bertanya apakah proyek-proyek tersebut benar-benar produktif dan mampu memberikan pengembalian investasi yang memadai," tandas Kusfiardi.
Jika utang tidak digunakan secara produktif, ada risiko utang akan menjadi beban jangka panjang yang semakin memberatkan.
Dari sisi politik, utang sering kali menjadi isu yang dipolitisasi. Pemerintah yang sedang berkuasa mungkin tergoda untuk meningkatkan pengeluaran fiskal yang didanai oleh utang guna meraih dukungan politik jangka pendek.
Kusfiardi bilang, pemerintah harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam godaan meningkatkan pengeluaran fiskal yang didanai utang demi kepentingan politik jangka pendek, karena hal ini bisa merusak keseimbangan fiskal dan menurunkan kredibilitas di mata investor.
Kebijakan populis yang tidak disertai pengelolaan utang yang hati-hati dapat menyebabkan ketidakseimbangan fiskal yang serius, mengancam stabilitas ekonomi dan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata investor.
Ketergantungan pada utang luar negeri juga menempatkan Indonesia pada posisi rentan terhadap tekanan eksternal. Negara-negara kreditur atau lembaga keuangan internasional dapat memaksakan syarat-syarat pembiayaan yang mungkin bertentangan dengan kebutuhan domestik Indonesia.
"Ketergantungan pada utang luar negeri juga menempatkan Indonesia dalam posisi rentan terhadap tekanan eksternal, sesuatu yang tidak boleh diabaikan dalam pengelolaan utang jangka panjang," ungkap Kusfiardi.
Dengan mempertimbangkan berbagai risiko ini, diperlukan kebijakan pengelolaan utang yang lebih hati-hati, transparan, dan berbasis pada prinsip-prinsip ekonomi yang kuat. Hanya dengan demikian, stabilitas fiskal jangka panjang dan kemandirian ekonomi Indonesia dapat terjaga. (kontan)
Penarikan Utang Baru Naik 36,6 persen
KEMENTERIAN Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi pembiayaan utang atau penarikan utang baru telah mencapai Rp 266,3 triliun hingga Juli 2024. Realisasi ini melonjak 36,6 persen bila dibandingkan dengan periode sama tahun 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, realisasi pembiayaan utang tersebut baru mencapai 41,1 persen dari yang ditargetkan tahun ini sebesar Rp 648,1 triliun. “Ini baru bulan ketujuh ya. Meski tumbuhnya cukup tinggi, karena tahun lalu dengan penerimaan kita yang cukup tinggi, dari berbagai komoditas boom, kita mengerem pembiayaan utang sangat dalam,” tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers, Selasa pekan lalu.
Lebih rinci, penarikan utang pemerintah tersebut berasal dari surat berharga negara (SBN), yakni sebesar Rp 253 triliun. Nilai ini lebih tinggi 37,5 persen bila dibandingkan dengan periode sama tahun lalu sebesar Rp 184,1 triliun.
Sementara itu, realisasi pembiayaan utang yang berasal dari pinjaman mencapai Rp 13,3 triliun. Lebih tinggi 21,6 persen dari penarikan pinjaman periode sama tahun lalu sebesar Rp 11 triliun. Dalam rangka menjaga kesehatan fiskal, pemerintah tidak hanya mengandalkan utang untuk membiayai kebutuhan defisit anggaran.
Kemenkeu mencatat, realisasi pembiayaan non utang pemerintah mencapai Rp 49,3 triliun, atau mencapai 39,4 persen dari yang ditargetkan sebesar Rp 125,3 triliun. Realisasi pembiayaan non utang ini tumbuh 61,8 persen secara tahunan.
Dengan perkembangan tersebut, secara keseluruhan realisasi pembiayaan anggaran hingga Juli 2023 sudah mencapai Rp 217 triliun atau 41,5 persen dari porsi yang ada dalam APBN 2024 sebesar 522,8 triliun. Realisasi tersebut tumbuh 31,9 persen dari periode sama tahun lalu sebesar Rp 164,5 triliun.
“Tumbuhnya cukup tinggi dibanding tahun lalu, tapi itu relatif on track terhadap postur kita. Tahun lalu itu exceptional karena penerimaan luar biasa baik,” ungkapnya. (kontan)
Gabungkan Konsep Skandinavia, Jepang dan Bali dalam Sebuah Hunian, Hadirkan Nuansa Rumah Nyaman! |
![]() |
---|
DIREKSI Anyar Telkom, Langkah Strategis Akselerasi Transformasi Digital Kontribusi Bagi Bangsa! |
![]() |
---|
DAMPAK Penyaluran Rp200 T ke Bank Himbara, Optimistis Bunga Pinjaman Turun, Setoran Pajak Nambah? |
![]() |
---|
Minyak Jelantah Jadi Berkah, Lewat Program Sobat Hijau, Sudamala Resort Sanur Daur Ulang |
![]() |
---|
Membuka Pasar Baru, TOCGY Exchange Masuk ke Daftar Kripto Exchange Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.