Berita Nasional

Perpres Nomor 122 2024 Tentang Pembentukan Kortastipidkor Polri, Tumpang Tindih Penanganan Tipikor

Perpres Nomor 122 2024 Tentang Pembentukan Kortastipidkor Polri, Tumpang Tindih Penanganan Tipikor

istimewa
Agus Widjajanto 

Ditegaskan Prof. Gede Pantja Astawa, ketiga institusi yang sudah ada saja, pada tataran das sein (praktek penegakan hukum pemberantasan korupsi) sudah dan masih menyisakan masalah yang bukan hanya terjadi over laping, juga gesekan di antara ketiga institusi tersebut. 

Selain menunjukan masih kuatnya ego sektoral masing-masing, serta lemahnya koordinasi dan sinergitas ketiga institusi tersebut, sehingga korupsi bukan semakin berkurang (apalagi sampai hilang), malah kian marak secara kuantitas dan kualitasnya. 

Dengan kata lain, pemberantasan korupsi tidak/belum berhasil, sekurang-kurangnya menekan tingkat tipikor sampai ke titik nadir.  Satu dan lain hal, lebih disebabkan oleh model pendekatan RETRIBUTIF yang mendahulukan menghukum pelaku tipikor dengan maksud dan tujuan menimbulkan deterent effect (efek jera) daripada memulihkan kerugian negara secara utuh (restorative) tanpa diimbangi dengan upaya pencegahan yang dilakukan secara intensif, masif, dan komprehensif. 

Beranjak dari konstatasi yang demikian itu, maka konsep yang perlu dipertimbangkan untuk langkah pemberantasan tipikor ke depan menurut Guru Besar asal Bali ini adalah:
1. Dari sisi regulasi, karena relatif banyak UU yang terkait dengan tipikor yang tumpang tindih, maka menjadi urgen/mendesak dibentuk 1 Undang Undang dengan menggunakan metode Omnibus Law yang kelak memadukan, mengharmonisasikan dan mensinkronkan sejumlah UU yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi
2. ⁠Mengubah model pendekatan Retributif menjadi model pendekatan restoratif, dengan menjadikan Hukum Administrasi sebagai "Primum Remedium" dan Hukum Pidana sebagai "Ultimum Remedium" dengan mengadopsi kosep "Defered Presecution Agreement" (Perjanjian Penundaan Penuntutan), yaitu memerintahkan pelaku tipikor mengembalikan kerugian negara seutuhnya (bila perlu diancam 10 kali  lipat dari kerugian negara yang ditimbulkannya). 
Bila pelaku tidak bersedia, barulah dijatuhi sanksi pidana badan seberat mungkin. Jadi sanksi administratif (berupa pengembalian kerugian negara yang lebih didahulukan), barulah sanksi Pidana dijatuhkan bila pelaku tidak bersedia mengembalikannya. 
3. ⁠Ubah pola penyelesaian tipikor dari pemberantasan kepada Pencegahan yang lebih diutamakan (minimal berimbang antara pencegahan dan pemberantasan).
4. ⁠Bubarkan KPK (yang bersifat ad - hoc) dengan memperkuat Polri dan Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang permanen. 
5. ⁠Partisipasi dan kontribusi dari segenap stake holders harus dibangun secara sinergitas (dari aparatur negara, Aparat Penegak Hukum dan masyarakat).
Namun yang terpenting dari semua itu adalah "Action Plan”,  aksi atau tindakan nyata, bukan NATO (No Action Talk Only).

Dengan demikian, pembentukan Kortastipidkor tidak akan pernah menyelesaikan masalah, selain hanya akan menimbulkan dan menyisakan masalah baru, baik secara internal di dalam tubuh Polri akan timbul over laping dan gesekan antara Bareskrim dan Kortastipidkor, maupun secara eksternal dengan Kejaksaan dan KPK.

Penulis: Agus Widjajanto 

Praktisi hukum dan pemerhati sosial budaya, hukum dan sejarah bangsanya.

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved