Pohon Tumbang di Monkey Forest
Tragedi Monkey Forest Ubud Bali, Standar Keamanan Wisatawan Penting Diperhatikan
Apabila terjadi kecelakaan atau korban jiwa di DTW, Suniastha mengatakan bahwa pengelola dapat menghadapi sejumlah risiko hukum.
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR – Standar keamanan penyelenggara pariwisata di Bali dipertanyakan usai terdapat wisatawan asing yang meninggal dunia karena tertimpa pohon tumbang di Monkey Forest Ubud beberapa waktu lalu.
Saat pohon tumbang menimpa wisatawan tersebut, cuaca ekstrem sedang terjadi di Bali.
Sehingga, saat cuaca ekstrem penyelenggara pariwisata beserta para guide mestinya harus mengutamakan keselamatan wisatawannya.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pariwisata dari Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Made Suniastha Amerta, SS.,M.Par., menjelaskan destinasi tujuan wisata (DTW) khusus wisata alam (ekowisata) memiliki karakteristik unik yang melibatkan interaksi dengan alam liar, medan yang tidak selalu terkontrol, serta cuaca yang dapat berubah drastis.
Baca juga: ABU Jenazah Kim Hyoeun Langsung Pulang, Jenazah WNA Korsel Korban Monkey Forest Ubud Dikremasi
“Oleh karena itu, standar keamanan sangat diperlukan untuk melindungi pengunjung dari potensi bahaya, seperti kecelakaan fisik (jatuh, tergelincir) atau bencana alam (longsor, banjir, kebakaran hutan),” jelas Suniastha, Sabtu 14 Desember 2024.
Lebih lanjutnya ia mengatakan menjamin keberlanjutan ekosistem, karena wisatawan yang tidak teredukasi atau fasilitas yang tidak memadai dapat merusak lingkungan.
Dan meningkatkan reputasi DTW, karena pengelolaan yang baik dan aman akan menarik lebih banyak pengunjung.
Suniastha menegaskan bahwa pengawasan khusus mutlak diperlukan di DTW khusus wisata alam, karena keunikan dan risiko alamiah lokasi seperti gunung, hutan, pantai, atau gua memiliki risiko yang berbeda-beda.
Faktor manusia, seperti kurangnya kesadaran pengunjung atau aktivitas yang berisiko, frekuensi kunjungan wisatawan, terutama saat musim liburan, meningkatkan potensi kecelakaan.
“Pengawasan khusus melibatkan penggunaan teknologi, seperti CCTV atau drone, untuk memantau area yang sulit dijangkau, penempatan petugas keamanan di titik rawan, dan pelibatan komunitas lokal sebagai penjaga alam,” sambungnya.
Apabila terjadi kecelakaan atau korban jiwa di DTW, Suniastha mengatakan bahwa pengelola dapat menghadapi sejumlah risiko hukum.
Seperti, tuntutan perdata dari korban atau keluarga korban, apabila pengelola dianggap lalai dalam menyediakan fasilitas atau layanan yang aman.
Tuntutan pidana, jika terbukti ada kelalaian fatal yang mengakibatkan kecelakaan, dan kewajiban kompensasi, baik secara finansial maupun pelayanan medis kepada korban.
“Untuk mengurangi risiko hukum, pengelola DTW harus memiliki prosedur keselamatan yang terdokumentasi dan dijalankan secara konsisten, menyediakan asuransi bagi pengunjung, menyediakan pelatihan keselamatan bagi staf,” imbuhnya.
Oleh karena itu, para pemandu wisata (guide) memainkan peran vital dalam menjaga keselamatan wisatawan, terutama di DTW wisata alam.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.