Berita Bali

Kasus Ratusan Siswa Tak Bisa Baca di Buleleng Bali, Diminta Jangan Hanya Salahkan Guru

Evaluasi buku-buku yang telah dibaca siswa belum diketahui bagaimana outcome-nya sehingga dinilai perlu dilakukan penelusuran. 

Ganendra
Ilustrasi guru - Kasus Ratusan Siswa Tak Bisa Baca di Buleleng Bali, Diminta Jangan Hanya Salahkan Guru 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Kasus 400 siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Buleleng tak bisa membaca menyedot perhatian semua pihak. Salah satunya, Prof. Dr. Ir. Putu Rumawan Salain. M. Si., IAI selaku Pengamat Pendidikan. 

Menurutnya, kasus murid tak bisa baca ini sedikit kontradiktif, sebab pemerintah beberapa tahun yang lalu membangkitkan semangat literasi. 

Melalui semangat literasi itu sebenarnya diharapkan minat membaca meningkat dan minat memiliki buku juga meningkat. 

“Sejujurnya kalau saya lihat di Kota Denpasar anak-anak SMP itu mendapat bagian buku dari sekolahnya. Nah, itu berapa persen yang membaca dan apa saja yang dibaca itu belum pernah terjadi evaluasinya. Yang jelas bahwa pemerintah menyiapkan buku, memberi pinjaman pada anak-anak atau membeli tidak pernah kita evaluasi kecuali ulangan ya. Kalau ujian-ujian itu saja yang dipakai sehingga mereka kan belajarnya karena kepentingan itu,” jelasnya, Kamis 24 April 2025. 

Baca juga: FIP Undiksha Turunkan Tim Dosen dan Mahasiswa, Dampingi Ratusan Siswa SMP Tak Bisa Baca di Buleleng

Evaluasi buku-buku yang telah dibaca siswa belum diketahui bagaimana outcome-nya sehingga dinilai perlu dilakukan penelusuran. 

Terlebih lagi masyarakat yang di pinggiran kota atau yang juga tidak diketahui apakah di beberapa SD yang terpencil atau di sekolah swasta, apakah anak-anak tersebut mendapatkan buku seperti siswa di Kota Denpasar. 

“Ini pertanyaannya lagi. Jangan-jangan tidak dapat buku. Jadi kalau buku saja tidak ada mau belajar mau baca apa yang bisa? Karena maaf jangan-jangan tidak ada buku yang dia punya, catatan juga mungkin tidak, karena begitu bebas ya anak-anak sekarang mungkin gurunya juga tidak mengawasi, bisa jadi. (Karena Covid-19 di masa itu) Iya juga bisa begitu, sehingga dengan demikian akhirnya diserahkan semua itu dengan peran guru itu menjadi ‘Mbah Google’ jadi guru gitu serba bisa,” bebernya. 

Jadi, mereka tidak perlu lagi mungkin membaca bisa mendengar langsung apa yang dikatakan Mbah Google. 

Kalau pun membaca mungkin dengan bahasa-bahasa Google, bukan bahasa ilmiah atau akademis. Jangankan membaca, calistung merupakan dasar yang siswa harus kuasai. 

Ini yang mencuat ke depan baru membacanya belum menulis dan menghitungnya.

Sementara menurutnya, kurikulum merdeka di satu sisi ia melihat ada euforia anak didik terhadap cara mereka belajar. 

Karena sepertinya ilmu yang begitu leleh mencair satu sama lain yang terkait dan saling berhubungan itu bisa saja siswa dapatkan atau intuisi siswa tidak berdasarkan akademis. 

“Menurut saya, ke depan ini lebih banyak rasa-rasa yang berkaitan dengan kualitatif gitu loh. Nah itu interpretatif lebih banyak itu. Jadi persis seperti sekarang kita membaca berita yang disebut hoax atau apa-apa, setiap orang mempunyai tafsir yang berbeda gitu,” paparnya. 

Jadi dirasa sulit berharap ke depannya meningkatkan kualitas anak didik terlebih untuk mencapai tahun emas. 

Dinas Pendidikan jika dilihat lebih menyiapkan regulasi, sedangkan regulasi yang harus dilakukan itu diterapkan oleh manajemen sekolah melalui kepala sekolahnya. Kepala sekolah kepada guru-gurunya. Dan guru-guru juga diharapkan memang memiliki kompetensi di bidangnya. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved