bisnis

DORONG Penyelesaian Perda Tata Kelola Transportasi, FPDPB Soroti Banyaknya Kendaran Plat Luar Daerah

Maraknya pengemudi transportasi online non-KTP Bali menjadi sorotan utama dalam diskusi yang digelar Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali.

Tribun Bali/Adrian Amurwonegoro
GELAR DISKUSI - Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali menggelar di Krisna Wisata Kuliner, Jalan Raya Tuban, Badung, Bali pekan ini. 

TRIBUN-BALI.COM - Maraknya pengemudi transportasi online non-KTP Bali menjadi sorotan utama dalam diskusi yang digelar Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali. 

Hal itu karena masih banyak kendaraan yang beroperasi untuk kepentingan bisnis di Bali tetapi menggunakan pelat nomor luar daerah, bukan DK.

Hal inilah yang ditegaskan dalam diskusi ini bahwa bukan larangan di luar Plat DK untuk masuk Bali, melainkan yang untuk kepentingan bisnis dan tak berizin. Di samping itu, permasalahan transportasi lain seperti kemacetan yang kian parah juga mendesak untuk segera diselesaikan. 

Baca juga: Pedagang Pasar Badung di Bali Keluhkan SE Pelarangan Plastik Sekali Pakai, Ini Alasannya!

Baca juga: Sarat Nilai Edukatif dan Kebangsaan, Saka Bahari Binaan Lanal Denpasar Cocok Bina Pelajar Bermasalah

Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali (FPDPB) yang terdiri dari 115 paguyuban menggelar diskusi dengan menghadirkan akademisi yang memiliki akses ke pemerintah untuk mengkaji hal ini. 

Diskusi tersebut mengusung tema “Permasalahan Transportasi Pariwisata sebagai Sektor Penting dalam Pariwisata Bali” yang digelar di Krisna Wisata Kuliner, Jalan Raya Tuban, Badung, Bali, pada pekan ini. 

Adapun Forum ini berdiri sejak Desember 2024 yang menjadi wadah para driver pariwisata seluruh Bali yang senasib sepenanggungan ditekankan bahwa seorang pengemudi pariwisata seharusnya memahami nilai-nilai budaya Bali.

“Tata kelola transportasi saat ini sangat semrawut. Maka dari itu, kami mengusulkan enam tuntutan yang sebelumnya telah disampaikan ke DPRD, DPR, hingga ke Gubernur Bali," ujar Ketua Forum, Made Darmayasa, pada Minggu (25/5).

"Salah satunya adalah penyelesaian peraturan daerah (Perda) yang dijanjikan rampung pada Agustus,” sambungnya. 

Dijelaskan Darmayasa, diskusi ini bertujuan untuk mendorong perubahan terhadap tata kelola transportasi, baik online maupun transportasi pariwisata konvensional. Hal tersebut diharapkan dapat diajukan dalam rancangan peraturan daerah (Ranperda) Bali ke depan.

Akademisi sekaligus perwakilan Majelis Desa Adat Kota Denpasar, Dr Drs A.A. Ketut Sudiana , SH, AMa, MH pada pemaparannya menyoroti angka perpindahan penduduk di Bali yang diperkirakan terus meningkat. 

Kondisi tersebut, kata dia, bakal memicu beragam masalah seperti kemacetan, persaingan usaha yang tidak sehat, hingga keterbatasan ruang.  Pihaknya juga menyoroti terdapat tren baru wisatawan asing yang datang ke Bali bukan sekadar untuk berlibur, melainkan untuk bekerja dan berbisnis.

“Ada yang namanya empat megatrend global. Salah satunya adalah fenomena ‘End of Ambition’ yakni turis yang tidak lagi datang untuk berlibur, tapi untuk berbisnis," kata dia.

"Mungkin kalian pernah melihat turis yang menjadi driver, nah itu salah satu contohnya,” imbuh Dosen Fakultas Hukum Unmas Denpasar 

Sudiana menyampaikan, bahwa dari tiga sektor utama perekonomian Bali yakni industri, pertanian, dan pariwisata, namun sektor pariwisata lah yang menjadi penyumbang pendapatan daerah terbesar.

“Sebagai masyarakat yang berusaha menjaga Bali beserta budayanya, saya mengusulkan yang namanya otonomi desentralisasi asimetris," kata dia.

"Artinya kebijakan pemerintah di Bali boleh sama dengan daerah lain, tetapi ada kekhususan," imbuhnya.

"Maka dari itu, kita bisa memiliki Undang-Undang Provinsi Bali dan membuat Perda Pungutan Wisatawan Asing,” jabar Sudiana.

Tokoh pariwisata, Wayan Winasa juga melontarkan kritikan tajam terhadap kondisi transportasi di Bali yang semakin karut marut, ditambah wisatawan yang datang saat ini tidak sedikit terlibat kriminial. 

“Turis sekarang datang cuma dua-tiga hari. Mereka bilang ‘Bali is very cheap’. Itu bukan salah mereka, tapi kita yang tidak bisa menetapkan harga internasional," ujar Wayan Winasa. 

"Selain itu, harga murah juga membuat layanan ikut murahan dan rentan kriminalitas,” sambungnya. 

Pihaknya menggelorakan penyesuaian tarif agar seimbang dengan kualitas layanan. “Put your price, put your quality,” tutur dia. (ian) 

Penegakan Regulasi

Pada kesempatan yang sama Prof. I Nengah Dasi Astawa menyoroti persoalan tentang lemahnya penegakan regulasi yang sudah ada.  Kata dia, aparat penegak hukum seharusnya mampu menjalankan aturan yang berlaku secara konsisten dan tanpa kompromi, namun hal ini belum terlihat.

'Sekarang banyak vila bodong, siapa yang menertibkan? Aturan di Bali itu sudah lengkap, sekarang bagaimana pelaksanannya dan penegakannya oleh pemerintah dan aparat berwenang,” tegas Dasi Astawa. 

Isu tentang jumlah kendaraan di Bali yang jauh melebihi jumlah wisatawan juga menjadi sorotannya. Menurutnya memang perlu pembatasan transportasi online berdasarkan kapasitas daya dukung wilayah atau carrying capacity.

“Jumlah kendaraan di Bali sekarang melebihi jumlah wisatawan. Bayangkan jika mobilnya ada 400 tapi tamunya cuma 200, itu pemicu macetnya,” paparnya.

Prof Dasi berpesan kepada Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali untuk memperjuangkan legalitas dan memegang izin agar lebih terorganisir dan memiliki payung hukum yang jelas.

“Sama halnya dengan guide, driver juga harus punya izin. Jika tidak, kalian dianggap organisasi bodong,” jelasnya. (ian)

 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved