Kapal Tenggelam di Selat Bali

KISAH Pilu Toni Korban Selamat KMP Tunu Tenggelam di Selat Bali, Peluk Jenazah Ayah Hingga Ditemukan

Malam itu, Toni – begitu ia biasa disapa – tak pernah menduga akan menyaksikan sendiri ayahnya, Eko Sastrio (51), meregang nyawa di depannya.

istimewa/Tribunjatim.com/Sinca Ari Pangistu
KOLASE FOTO - Daftar nama penumpang kapal (kanan) dan Toni saat menunjukkan foto ayahnya (kiri). KISAH Pilu Toni Korban Selamat KMP Tunu Tenggelam di Selat Bali, Peluk Jenazah Ayah Hingga Ditemukan 

TRIBUN-BALI.COM - Sebuah kisah pilu terselip dalam tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali.

Perjalanan mencari nafkah untuk keluarga berubah menjadi mimpi buruk seketika bagi Eka Toniansah.

Pemuda 25 tahun asal Kelurahan Klatak, Banyuwangi ini adalah salah satu penumpang yang selamat dari tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali, 2 Juli 2025, sekitar pukul 23.35 WIB.

Malam itu, Toni – begitu ia biasa disapa – tak pernah menduga akan menyaksikan sendiri ayahnya, Eko Sastrio (51), meregang nyawa di depannya.

Ia bertahan berjam-jam di laut lepas, memeluk jasad sang ayah sambil melawan dingin dan gelombang.

"Saat ditemukan, kita naik kapal nelayan, bapak sudah tidak ada," ujarnya pelan, Sabtu 5 Juli 2025 dilansir dari Tribun Jabar.

Ayah dan anak ini sebenarnya hanya menjalankan rutinitas: membawa truk tronton bermuatan semen ke Bali.

 

Eko Sastrio sebagai sopir, Toni sebagai kernet.

"Kirim semen ke Bali," terangnya singkat.

Baca juga: Prakiraan Cuaca Bali Besok 6 Juli 2025, Hujan Lebat di Gianyar dan Klungkung, Waspada Angin Kencang

Toni masih ingat bagaimana semuanya berubah begitu cepat.

Kapal sempat berhenti, terombang-ambing diterjang ombak.

Lalu kepanikan pecah.

Penumpang berlarian, mencari pelampung.

Toni dan ayahnya juga ikut panik. Beruntung, Toni berhasil mendapatkan dua pelampung di ruang penumpang.

"Kapal pertama diam, terombang-ambing, kemudian orang-orang panik. Akhirnya sempat miring. Tak lama miring, selang 3 menitan, langsung tenggelam. Mesin mati," kenangnya.

Tak ada tanda bahaya yang terdengar.

Toni dan ayahnya yang sudah memakai pelampung berpegangan erat di besi pinggir kapal.

Saat kapal benar-benar tenggelam, keduanya sempat terseret ke bawah, lalu kembali muncul ke permukaan.

"Sekitar 5 detik-an naik ke atas," jelasnya.

Di permukaan laut, Toni melihat penumpang lain menjerit, menangis, minta tolong.

Ia sendiri mencoba tetap tenang.

"Saya tak begitu panik, ya pasrah, gimana lagi," katanya.

Namun kondisi ayahnya semakin lemah.

"Kondisi bapak lemas, sempat masih hidup," tuturnya.

Hingga akhirnya, sang ayah meninggal.

Toni tetap memeluk jasad ayahnya dengan satu tangan, meski tak ada kapal yang lewat.

Sambil terombang-ambing, ia hanya bisa menatap laut kosong, berharap ada pertolongan.

"Pas kejadian 1 jam 2 jam, tak ada bantuan kapal sama sekali," ucapnya.

Setelah hampir lima jam, Toni yang masih memegangi ayahnya akhirnya ditemukan nelayan di sekitar Pantai Banyubiru, Bali.

Dengan suara sisa tenaga, ia berteriak minta tolong.

"Teriak-teriak minta tolong," katanya.

Begitu menginjak daratan, Toni hanya punya satu pikiran: segera memberi kabar pada keluarga bahwa ia selamat.

Perjalanan yang awalnya hanya untuk mengantar semen ke Bali, berakhir dengan kehilangan orang paling berharga dalam hidupnya — dan luka batin yang akan selalu ia bawa pulang.

(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved