Berita Bali
HKTI Bali Nilai Perlu Adanya Sinergi Antara BMKG dan Pertanian Untuk Prediksi Cuaca
penggunaan obat-obatan apalagi yang bersifat kimia sintetis akan sangat membahayakan kesehatan kepada konsumen, selain kepada para petani.
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR — Faktor cuaca bagi sektor pertanian merupakan sesuatu yang sangat alami dan terjadi sesuai dengan musim dan bahkan tidak dapat diprediksi.
Seperti yang terjadi belakangan ini, hujan turun di saat biasanya memasuki periode musim kemarau.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali, I Gde Sedana.
Menurutnya, para petani telah memiliki pengalaman sejak lama untuk mengantisipasi hujan yang turun di saat musim penanaman di lahannya.
Baca juga: Perubahan Iklim, Distan Bali Siapkan Strategi Adaptasi dan Mitigasi untuk Sektor Pertanian
“Pada komoditas tertentu, hujan dapat berdampak buruk pada proses generatif, seperti pembungaan dan pembuahan. Namun ada juga tanaman yang membutuhkan air hujan saat pertumbuhannya. Oleh karena itu, turunnya air hujan saat ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil panen karena intensitas hujan tidak terlalu tinggi," jelasnya, Selasa 8 Juli 2025.
Lebih lanjut Rektor Universitas Dwijendra ini mengatakan, pada intensitas hujan yang tinggi di beberapa kawasan tertentu dan juga pada beberapa jenis tanaman akan dapat menimbulkan gangguan.
Terutama untuk jenis tanaman cabai, tomat, dan sejenisnya, termasuk tanaman umbi-umbian, dan juga anggur serta tembakau.
"Ini berarti bahwa cuaca yang berubah secara tidak biasa seperti hujan tidak serta merta dapat memberikan dampak buruk pada beberapa jenis tanaman tertentu karena setiap tanaman memiliki sifat tumbuh yang berbeda-beda. Jika, kondisi air hujan dalam jumlah yang tinggi dapat mendorong adanya serangan hama atau penyakit pada tanaman tersebut," imbuhnya.
Di tingkat petani, pengendalian hama atau penyakit dilakukan sesuai dengan tingkat serangannya, yaitu menggunakan obat-obatan yang sangat mudah diakses dan diperoleh di pengecer.
Tentu saja, penggunaan obat-obatan apalagi yang bersifat kimia sintetis akan sangat membahayakan kesehatan kepada konsumen, selain kepada para petani.
Di samping itu, penggunaan obat-obatan kimia sintetis juga dapat mempengaruhi ekosistem di lokasi pertanian, terutama dampaknya terhadap kehidupan hayati atau biodiversity.
Sehingga satu hal yang dapat disarankan adalah penggunaan biopestisida guna menjamin keberlanjutan ekosistem pertanian dan menjaga kualitas produk yang dihasilkan.
Ke depan dia mendorong adanya sinergi antara BMKG dengan pihak pertanian untuk dapat memberikan informasi tentang prediksi cuaca setiap bulan dalam periode satu tahun.
Informasi ini sangat penting bagi para petani untuk menentukan alternatif tanaman yang akan diusahakan sesuai prediksi cuaca yang diberikan.
Sementara itu, Ketua Petani Muda Keren, AA Gede Agung Wedhatama, sebelumnya mengakui adanya kendala produksi di petani akibat cuaca yang tidak menentu akhir-akhir ini.
Hal ini pun membuat suplai ke pasaran tidak maksimal dan berpengaruh terhadap naiknya harga.
Berdasarkan pantauan harga di pasaran, komoditas yang rentan mengalami kenaikan harga pada musim hujan seperti cabai masih berkisar Rp65.000 per kilogram dan bawang merah Rp35.000 per kilogram.
Kumpulan Artikel Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.