Berita Bali
Tiga Ensemble Tampilkan Eksplorasi Lintas Medium di Hari Ketiga Festival Mi-Reng 2025 di Bali
KADAPAT dari Jembrana menyuguhkan karya 0°/90°/180° garapan Yogi Sukawiadnyana dan Barga Sastrawadi.
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR — Hari ketiga Festival Mi-Reng 2025, diwarnai oleh penampilan tiga ensemble yang menghadirkan tafsir baru atas gamelan melalui pendekatan lintas medium dan narasi.
Bertempat di panggung terbuka Unit 1 Gedung Kompas Gramedia Ketewel, pentas pada Senin 4 Agustus 2025 malam, mempertegas posisi Mi-Reng sebagai medan penciptaan kolektif yang tak henti mengeksplorasi kebaruan dalam kekinian.
Pertunjukan dibuka oleh [HA] N.N, duo eksperimental yang digagas Septian Dwi Cahyo dan Putu Lia Veranika.
Membawakan karya berjudul [E]st, mereka menciptakan alur bunyi dari puisi Mahmoud Darwish yang dikombinasikan dengan tala mikrotonal dan sistem kode morse.
Baca juga: Rare Angon Festival Hadirkan Perpaduan Seni hingga Hiburan, 1.000 Layangan di Pantai Mertasari Bali
Suasana yang dibangun hening namun intens, seakan mengajak penonton mendengar bukan hanya suara, tapi juga makna-makna yang terpendam.
“Darwish mengajarkan kita mendengar luka, bukan hanya meratapinya,” ujar Putu Lia.
“Kami mencoba menyuarakan hal-hal yang tak bisa diteriakkan, ini semacam praktik mendengar dalam diam,” ucapnya.
Dilanjutkan oleh Gamelan Nata Swara, kelompok yang dikenal atas pendekatannya yang jeli pada struktur dan warna bunyi gamelan klasik.
Mereka menampilkan Prisms for Gene Davis karya komposer Amerika, Brian Baumbusch.
Komposisi ini menggubah gagasan visual seni lukis minimalis menjadi struktur musikal gamelan yang berlapis dan bergerak lambat.
“Kami melihat gamelan sebagai prisma,” ungkap Baumbusch.
“Ia bisa membiaskan cahaya budaya yang sama, namun menghasilkan spektrum suara yang berbeda,” ujarnya.
Sebagai penutup, KADAPAT dari Jembrana menyuguhkan karya 0°/90°/180° garapan Yogi Sukawiadnyana dan Barga Sastrawadi.
Dengan meramu jegog, gender wayang, dan elemen elektronik, mereka membangun narasi musikal tiga babak: spiral, vertikal, dan horizontal, yang menggambarkan tekanan arah hidup generasi muda dalam lanskap Bali kini.
“Kami menata ulang arah, bukan dari peta, tapi dari batin,” kata Yogi.
Suara rendah jegog yang mentah dan repetitif dipertemukan dengan tekstur digital yang menggema dan terfragmentasi. Sebuah tafsir bunyi atas situasi jiwa zaman.
Sejak awal digagas, Mi-Reng: New Music for Gamelan tidak diniatkan sekadar sebagai festival musik, melainkan sebuah Ritus Cipta, ruang di mana gamelan didengar ulang, disusun dalam kebaruan dan kemungkinan cipta yang cemerlang; dimaknai sebagai bahasa ekspresi yang terus berdegup hidup.
Nama “Mi-Reng” sendiri yang berarti “mendengar dengan saksama”, dalam bahasa Bali dan Jawa menjadi panggilan untuk bersikap hening namun tajam: menyimak bukan sekadar dengan telinga, tapi dengan kehadiran batin dan keberanian mencipta dari akar.
Kurator festival, Yudane, menyebut Mi-Reng sebagai wilayah bunyi yang menawarkan “kebaruan tanpa kehilangan jejak para pendahulu yang disikapi secara kritis.”
Dalam semangat itu, festival ini menghadirkan keberanian untuk menjelajahi bentuk dan suara baru tanpa abai pada tradisi.
Gamelan tidak dilihat sebagai artefak, melainkan sistem terbuka, sumber daya estetik yang terus dapat digali, dikreasi, dan dikritisi.
Dari Proses ke Panggung
Festival Mi-Reng 2025 merupakan kelanjutan dari proses panjang yang dimulai sejak awal tahun 2025.
Pada April lalu, digelar program Lokacipta di Gedung Kompas Gramedia Ketewel dan Bentara Budaya Bali, melibatkan 20 peserta dari berbagai disiplin seni: komposer, penari, sound designer, penyair, dan perupa.
Selama lima sesi intensif bersama para mentor seperti Dewa Alit, Janu Janardhana, Septian Dwi Cahyo, Made Kartawan, hingga Arif B. Prasetyo, peserta mendalami eksplorasi pelarasan, mikrotonalitas, rekaman sebagai metode cipta, hingga praktik tubuh dan teks dalam gamelan.
Mei 2025, Lokawacana digelar di Museum Wiswakarma Batubulan sebagai forum pertukaran pemikiran.
Christopher J. Miller (Cornell University) menekankan bahwa Mi-Reng memberi paradigma segar untuk memahami musik gamelan di luar dikotomi “tradisi–kontemporer”.
Prof. I Made Bandem membentangkan sejarah panjang inovasi dalam karawitan Bali, dan Gema Swaratyagita memperkenalkan metode “Tubuka”—tubuh, bunyi, kata—sebagai basis kreatif yang menyatu.
Diskusi ditutup oleh Yudane dengan pernyataan yang merangkum semangat Mi-Reng:
“Keberlangsungan gamelan bukan tergantung bentuknya, tapi dari keberanian kita untuk terus mendengar dengan kedalaman.”
Jejak dan Capaian
Mi-Reng juga tak lepas dari sejarah panjang New Music for Gamelan yang dimulai sejak 2011 lewat konser Triple 2: A Tribute to Wayan Sadra, berlanjut dengan Komponis Kini yang memberi penghormatan kepada maestro I Wayan Lotring (2016) dan Wayan Beratha (2019).
Program ini mendukung dan memberi ruang akselerasi bagi kelompok-kelompok new music for gamelan seperti Gamelan Wrdhi Cwaram yang tampil di Europalia (2017) dan Gamelan Salukat yang mengadakan tur ke kota-kota besar di Eropa dan belahan benua lainnya.
Di ranah individu, komposer Wayan Sudirana baru saja menorehkan pencapaian penting dengan meraih Piala Citra FFI 2025 sebagai Penata Musik Terbaik lewat film Samsara karya Garin Nugroho.
Ini melanjutkan rekam jejaknya di Seoul, Melbourne, dan Kuala Lumpur sebagai salah satu representasi kebaruan dalam kekinian gamelan Bali.
Kurator Warih Wisatsana menyatakan bahwa Mi-Reng menghadirkan medan estetik di mana gamelan tak hanya dibunyikan ulang, tetapi didefinisikan ulang.
“New Music for Gamelan adalah ruang estetik tempat gending baru lahir dari kreativitas lintas batas dalam menyikapi keberadaan perangkat gamelan. Dengan semangat menggali bunyi yang baru, melampaui pelarasan konvensional, membuka orkestrasi yang tak terduga, serta menata ulang persepsi kita tentang waktu dan ruang melalui kehadiran bunyi sugestif-imajinatif ”
Dukungan dan Kolaborasi
Festival Mi-Reng 2025 diselenggarakan oleh Mi-Reng Festival dengan dukungan dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, serta LPDP melalui Dana Indonesiana.
Festival ini juga menjalin kerja sama dengan Museum Wiswakarma, Bentara Budaya Bali, dan berbagai komunitas seni di Bali.
Festival Mi-Reng: New Music for Gamelan resmi dimulai pada 2 Agustus petang hari di Kompas Gramedia Ketewel, diawali dengan sebuah persembahan khusus bertajuk "Tribute to I Gusti Putu Made Geria (1906–1983)", seorang maestro gamelan Bali modern yang pengaruhnya masih dirasakan hingga kini, baik di ranah praktik maupun akademik.
Acara pembuka MI-RENG merupakan bagian dari Ritus Cipta menghadirkan pertunjukan karya-karya gamelan terkini selama lima hari (2–6 Agustus 2025).
Dalam pembukaan tampil Sekaa Gamelan Linggar Prakerti, Kaliungu Kaja, Denpasar.
Capaian Eksperimen Estetik-Stilistik
Pada Concert Series Mi-Reng 2025 akan tampil 11 ensemble terpilih, antara lain CIRAT, Gamelan Nata Swara, Gamelan Salukat, Gamelan Yuganada, [HA] N.N, KADAPAT, LAS Ensemble, Linggar Prakerti, Palwaswari, Roras Ensemble, dan Sekaa Black Kobra.
Masing-masing kelompok menampilkan karya-karya baru yang menjelajahi pelarasan, tata bentuk, hingga pendekatan interdisipliner.
Sejumlah grup memadukan instrumen gamelan dengan elektroakustik dan sintesis digital.
Gamelan diposisikan bukan sebagai “alat”, melainkan sistem musikal dan spasial yang terbuka untuk diurai ulang dan dibangun kembali dalam Kekinian yang menawarkan Kebaruan.
Pada hari kedua, Minggu, 3 Agustus 2025, Mi-Reng mempersembahkan sesi konser Komponis Perempuan, yang menjadi medium penguatan gagasan dan ekspresi musikal para kreator muda Bali.
Pentas dibuka oleh Black Kobra, membawakan komposisi “LILA” (komposer: Ni Komang Wulandari), sebuah refleksi musikal yang mengajak penonton untuk menikmati hidup melalui permainan nada, harmoni, dan ritme, sebagai ungkapan kebebasan berkreasi.
Berikutnya, CIRAT akan menghadirkan pendekatan lintas disiplin yang memadukan gamelan, teknologi, dan olah ruang pentas musik.
Diniatkan sebagai laboratorium bunyi, CIRAT akan menampilkan karya “KESEHGONG” (komposer: Ni Nyoman Srayamurtikanti), eksplorasi interaktif antara gender wayang, gong machine, dan gesture tubuh sebagai instrumen musikal.
Sebagai penutup, Palwaswari, sebuah sanggar seni yang tumbuh dari semangat anak-anak muda, melestarikan dan mengembangkan tradisi Gender Wayang dan Selonding dengan inovasi cerdas.
Mereka akan membawakan komposisi “Salulung” (komposer: Ni Made Ayu Dwi Sattvitri), adaptasi dinamis dari gending Rejang Gucek yang penuh nuansa.
Usai pertunjukan, digelar pula Gema Wacana bersama ketiga komposer yang memaparkan tentang proses kreatif dan eksplorasi artististik yang mereka lakukan.
Turut hadir pula sebagai penanggap dan memberikan pandangan, M. Arham Aryadi selaku Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sekaligus pendiri dan direktur musik Indonesian Contemporary Gamelan Ensemble, yang memberikan sanding-banding tentang Gamelan Ajeng; serta Prof. I Wayan Dibia.
New Music for Gamelan menjadi ruang estetik tempat gending baru lahir dari perangkat gamelan, namun dengan semangat bunyi yang baru pula melampaui pelarasan konvensional, membuka orkestrasinya, dan menata ulang persepsi kita tentang waktu dan ruang.
Jadwal Pertunjukan:
Sabtu, 2 Agustus 2025
-LINGGAR PRAKERTI
Minggu, 3 Agustus 2025
-Black Kobra
-CIRAT
-Palwaswari
Senin, 4 Agustus 2025
-[HA] N.N
-Gamelan Nata Swara
-Kadapat
Selasa, 5 Agustus 2025
-Gamelan Yuganada
-Gamelan Salukat
Rabu, 6 Agustus 2025
-Roras Ensemble
-Las Ensemble
Kumpulan Artikel Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.