TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kabar pailitnya Hardys, sebagai salah satu ritel terbesar di Bali, menjadi perhatian khalayak umum.
Beberapa alasan diutarakan I Gede Agus Hardiawan, selaku pendiri Hardys.
Salah satunya karena terlalu ekspansif, khususnya ekspansi ke sektor residensial bernama Hardys Land.
Belakangan diketahui Hardys Land mangkrak, dan tidak memberikan pemasukan bagi Hardys.
Sehingga Hardi harus berurusan dengan utang yang ia dapatkan dari 20 bank nasional dan internasional.
Akhir kasus ini, Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan PT Hardys Retailindo pailit.
Kemudian Bank Muamalat menjual 13 outlet Hardys ke PT Arta Sedana Retailindo.
Hardi tidak menyangka, ekspansinya ke sektor residensial akan menjadi akhir perjalanan bisnis ritel yang ia bangun 20 tahun silam.
Terpuruknya sektor properti dan residensial telah menjadi isu umum sejak beberapa tahun belakangan.
Bahkan sektor ini di Bali terjun bebas, yang mengakibatkan banyak proyek mangkrak dan menyebabkan non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah perbankan membengkak.
Ketua DPD REI Bali, Pande Agus Permana Widura, mengamini hal ini.
Ia melihat sejak beberapa tahun belakangan sektor properti dan residensial memang stagnan cenderung terkoreksi turun.
"Khususnya perumahan menengah ke atas , saya rasa masih akan stagnan hingga beberapa waktu ke depan. Tetapi perumahan untuk rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah akan ada peningkatan seperti FLPP,” katanya, Selasa (21/11/2017).
Baginya perumahan di atas Rp 500 juta atau menengah ke atas, masih akan stagnan pada 2018.
“Kalaupun ada kenaikan pasti sangat kecil sekali,” imbuhnya.