Di mana tumpek ini jatuh setiap enam bulan sekali, yakni Sabtu, Kliwon, Wuku Krulut.
Tumpek Krulut menurut teks Aji Gurnitha, disebutkan bahwa hari yang tepat untuk mengupacarai gambelan.
Lalu bagaimana hari penyucian gambelan ini bisa dikaitkan dengan hari kasih sayang?
Sejatinya hal ini berkaitan dengan pemaknaan.
Gambelan itu terdiri dari banyak instrumen. Meski berbeda-beda suara, namun ketika dipukul bersamaan sesuai fungsinya, maka akan melahirkan satu melodi atau alunan musik yang indah.
Hidup manusia ini sebenarnya tidak ubahnya seperti gambelan dalam pementasan.
Di mana setiap orang memiliki peranannya masing-masing, yang bertujuan untuk melengkapi satu sama lain.
Bukan untuk merusak satu sama lain.
Jadi untuk menjalin hubungan harmonis dengan sesama manusia, maka di situlah kita harus menjadi gambelan.
Kita meski tahu kedudukan kita. Dari kedudukan itu kita akan melaksanakan fungsi kita sehingga dengan demikian kita melengkapi satu sama lainnya untuk mewujudkan satu bunyi yang harmoni.
Titilaras atau nada suara gambelaan Bali adalah ndang, nding, ndung, ndeng, ndong.
Nada suara ini merupakan perwujudan Panca Brahma (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing).
Di mana nada-nada tersebut merupakan perwujudan dari Bhatara Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu, dan Siwa.
Dalam gambelan kita harus mampu memadukan irama kaja-kelod, kangin-kauh, kemudian semuanya bertemu di tengah-tengah dalam bentuk cakra atau swastika (kesatuan yang indah).
Maka dari itu, setiap orang yang akan melakukan aktivitas atau prawerti/mapekerti, yang dalam bahasa Bali disebut nyolahang dewek harus diiringi oleh gambelan (cinta kasih).
Artinya, ketika anda memulai melakukan sesuatu, lakukanlah dengan ikhlas dan penuh cinta kasih.
Karena itu, Tumpek Krulut bukanlah hari untuk gambelan Bali semata.
Tetapi juga semua alat yang menghasilkan bunyi.
Bahkan alat musim modern seperti gitar sekalipun harus diperlakukan sama. (*)