Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesha.
Ia mengimbau masyarakat untuk tidak menitipkan "Layon" di Rumah Sakit.
Menurutnya, seharusnya jenazah dihormati dan ditempatkan dengan baik.
"Tapi yang sekarang terjadi, banyak jenazah begitu saja ditempatkan di Rumah Sakit. Kalau tidak segera dilakukan upacara, kan cukup lama jadinya "Sebel" (berduka-red). Selain itu juga tidak bisa mengikuti prosesi karya Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih yang dilaksanakan setiap 10 tahun," ungkapnya.
Ditambahkan Jero Gede Suwena Putus Upadesha, sebenarnya jenazah saat upacara Panca Wali Krama bisa dikuburkan seperti biasa (mekinsan di pertiwi) atau mekinsan di geni.
Sesuai dengan aturan yang ada, maka jenazahnya bisa dipendam (dikubur).
"Jenazah itu bisa dikuburkan setelah matahari terbenam atau dikuburkan secara diam-diam. Ini berlaku untuk orang biasa. Sementara untuk orang-orang suci seperti pedanda, pemangku maka bisa mekinsan di geni. Masyarakat atau umat Hindu seharusnya paham, bahwa baik mependem (dikubur) atau mekinsan di geni itu bukan upacara ngaben. Yang dilarang itu hanya Ngaben. Ini harus dipahami,” imbuhnya.
Sementara Ketua PHDI Provinsi Bali I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan terjadi kesalahpahaman umat Hindu soal jenazah yang dititipkan di rumah sakit di Bali selama ini sehingga mengakibatkan overload di beberapa rumah sakit.
Menyayangkan penitipan jenazah di rumah sakit karena seakan malah mengabaikan orang yang sudah meninggal.
“Ini terjadi kesalahpahaman oleh umat Hindu. Yang tidak diperbolehkan itu Ngaben, kalau mekinsan di pertiwi atau di geni boleh. Ini ada salah paham, sehingga jenazah keluarga yang ditinggalkan dititipkan di rumah sakit. Ini tidak benar,” ujarnya.
Untuk itu Ia meminta agar bagi masyarakat yang menitipkan jenazahnya di rumah sakit agar segera diambil untuk dikuburkan atau mekinsan di geni. (*)