Smart Woman

Puspita Insan Kamil: Kerja Keras dan Konsistensi untuk Lingkungan

Penulis: Ni Ketut Sudiani
Editor: Widyartha Suryawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Puspita Insan Kamil.

“Saya melihat dari banyak gerakan, pemimpin adalah faktor kunci berlangsungnya sebuah organisasi atau program. Selain itu, sisanya adalah hal internal. Komitmen dan motivasi harus datang dari diri sendiri, kalau tidak, perlahan akan pudar ketika motivator eksternal itu hilang.”

Menjadi konsisten tentu bukanlah hal yang mudah. Puspita pun selalu berpegang pada dua tokoh utama yang selama ini banyak memberinya inspirasi yakni Alfred Russell Wallace dan Jane Goodall.

Mereka adalah sosok-sosok yang tidak datang dari keluarga yang memiliki fasilitas berlimpah, sehingga semua pencapaian diusahakan oleh diri sendiri.

“Mereka memiliki peran besar dalam konservasi, namun tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang Biologi maupun konservasi. Dua tokoh ini secara konsisten memotivasi saya bahwa meski saya datang dari keluarga biasa dan tidak mempelajari ilmu konservasi secara formal, dengan kerja keras dan konsistensi, saya akan memiliki dampak,” tegasnya.  

Survei Mini hingga Eksperimen
Tercatat telah ada berbagai macam jenis penelitian yang dilakukan Puspita untuk lingkungan, dari survei mini hingga eksperimen.

Ia sempat meneliti identitas lingkungan, konflik manusia dan satwa liar, perilaku konsumen dengan plastik di pasar tradisional, juga tentang peran hutan kota Bandung untuk masyarakatnya.

“Temuan paling mencengangkan untuk saya adalah saat meneliti konflik manusia dan komodo. Saya menemukan bahwa orang yang lebih membenci komodo bukanlah mereka yang paling banyak ternaknya dimakan oleh komodo, melainkan mereka yang berpikir bahwa ternak mereka adalah investasi untuk sekolah anak. Kebencian kita terhadap suatu isu lingkungan barangkali hanya ada di otak kita, dan kita selalu punya kemampuan untuk memanipulasi otak kita sendiri,” jelasnya.

Begitu pula keterkaitannya dengan teknologi.

Ia menilai kehadiran teknologi harus diimbangi dengan pendekatan humanis untuk menjelaskan bahwa teknologi itu ada untuk menyelesaikan masalah di masa lalu, atau mengurangi dampak masalah, bukan menjadi penanggung jawab masalah di masa mendatang.

Ahli teknologi seyogyanya harus bisa bekerjasama dengan ahli perilaku untuk merancang teknologi yang tepat sasaran dan tetap ramah bagi pengguna.

Meskipun aktivitas yang dilakukan Puspita, khususnya yang langsung bersentuhan dengan alam bebas, umumnya lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, namun ia sama sekali tidak pernah mempersoalnya identitas laki-laki maupun perempuan dalam melakoni kegiatannya.

“Jika punya tanggung jawab, lakukan dengan baik. Saya tidak pernah mengingat-ingat saya wanita, karena menurut saya pribadi, semakin kita mengingat identitas sosial kita, maka akan semakin besar potensial stereotipe yang kita punya terhadap identitas sosial lain.

"Misal - kalau kita terus-terusan mengingat kita wanita, kalau ada pria yang kemudian melakukan hal tidak adil, kita akan menyalahkan jenis kelaminnya, bukan orangnya. Hal tersebut adalah ad hominem. Pria dan wanita sama-sama bisa melakukan hal buruk. Kita menjadi egaliter ketika kita tidak lagi mengingat dan memisahkan hal-hal berdasarkan identitas sosialnya,” terangnya. 

Ia meyakini apabila seseorang  melakukan hal baik, dan bertanggung jawab dengan baik atas semua keputusannya, orang lain akan tahu dengan sendirinya.

“Saya terinspirasi Meghan Trainor yang pernah mengatakan, If you are good, you don't need to introduce yourself."

Halaman
123

Berita Terkini