Corona di Bali

Melihat Desa Adat Kedonganan

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana
Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bendesa Adat Kedonganan, I Wayan Mertha menjadi salah satu pembicara dalam webinar Nafas Desa di Bali di Masa Pandemi, Sabtu (23/5/2020). Webinar ini diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kebudayaan Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana (Unud).

Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sudah tak terelakan lagi, bahwa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menghantam kehidupan masyarakat.

Selain membahayakan dari segi kesehatan, pandemi Covid-19 juga mengikis sektor perekonomian.

Situasi ini dialami hampir seluruh masyarakat, terlebih di Bali yang ekonominya ditunjang oleh pariwisata.

Salah satu masyarakat yang kini berjibaku menghadapai pandemi Covid-19 ialah Desa Adat Kedonganan.

Desa Adat yang berada di sebelah selatan Bandar Udara (Bandara) Internasional I Gusti Ngurah Rai ini ikut terpukul.

Apalagi sebagian besar masyarakat Desa Adat Kedonganan memang bergerak di sektor pariwisata.

Pernikahan Tersangka Pemerkosaan Berlangsung di Mapolres Baubau, Sang Istri Menangis

Pola Tidur Berubah saat Puasa Ramadhan, Berikut Cara Memperbaikinya

Sebuah Mobil Ambulans Dihentikan di Tabanan, Ternyata Disewa untuk Mudik ke Jember

Bendesa Adat Kedonganan, I Wayan Mertha menceritakan, pariwisata di wilayahnya berkembang sekitar tahun 1990-an.

Sebelum itu, masyarakat di Desa Adat Kedonganan lebih menggantungkan hidupnya di dunia perikanan.

Perkembangan pariwisata di desa adat tersebut berawal dari adanya seafood cafe yang dimiliki oleh warga desa pangarep sebanyak 1.200 Kepala Keluarga (KK).

"Itu (1.200 KK) semuanya memiliki atau sebagai share holder dari kafe yang ada di Kedonganan," kata Merta saat menjadi pembicara dalam webinar "Nafas Desa di Bali di Masa Pandemi", Sabtu (23/5/2020).

Sebanyak 26 Warga Binaan Lapas Kelas IIB Singaraja Terima Remisi Idul Fitri

PLN Kerahkan 31 Ribu Personil Amankan Listrik Jelang Lebaran

"Tidak ada pangarep atau krama ngarep Desa Adat Kedonganan yang tidak memiliki cafe tersebut," imbuh Merta dalam webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kebudayaan Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Unud itu.

Kini hampir 80 persen masyarakat Desa Adat Kedonganan bergantung secara langsung maupun tidak langsung dari aktivitas pariwisata.

Sementara sisanya masih bergantung aktivitas ekonomi sebagai nelayan.

Namun, kondisi nelayan saat ini sudah berbeda dengan yang dahulu.

Dirinya menyebut, nelayan sekarang sebagai "pengusaha nelayan" karena memiliki alat produksi terutama tenaga kerja yang berasal dari luar Bali.

Dosen Program Studi (Prodi) Destinasi Pariwisata Politeknik Pariwisata Bali itu menceritakan, kemunculan pandemi Covid-19 praktis menghancurkan aktivitas pariwisata di Desa Adat Kedonganan, termasuk kafe yang dimiliki oleh sekitar 1.200 KK pangarep.

Ditutupnya cafe seafood Kedonganan mulai 22 Maret 2020 berdampak luar biasa. Sebanyak 1.100 orang yang bekerja di kafe sebagai pelayan dan dapur berhenti.

Ditutupnya kafe ini juga berimbas pada 1.200 KK sebagai share holder.

Trafik Naik, Jaringan XL Axiata Siap Layani Kebutuhan Lebaran

Warga Kampung Muslim Angantiga Petang, Laksanakan Sholat Ied di Rumah Masing-masing

Biasanya setiap bulan mereka mendapatkan penghasilan dari keberadaan kafe tersebut.

Sejak kafe ini ditutup 1.200 KK itu tak lagi mendapatkan penghasilan dari sana.

Tak hanya itu, termasuk semua usaha yang terkait pariwisata, seperti supplier, dagang canang, transportasi dan sebagainya, juga tak beroperasi.

"Saat sekarang kegiatan kepariwisataan betul-betul tidak bisa berlangsung, sudah tutup sama sekali termasuk pantai kami yang ditutup," kata dia.

Menjaga "napas"

Ditutupnya sektor pariwisata menyebabkan perekonomian masyarakat Desa Adat Kedonganan runtuh.

Mertha mengatakan, penutupan pariwisata di Desa Adat Kedonganan ini telah berdampak pada 80 persen perekonomian masyarakat.

Melihat situasi ini, Mertha tak tinggal diam dan berupaya menjaga "napas" perekonomian masyarakat Desa Adat Kedonganan.

Ia akhirnya mengadakan diskusi dengan seluruh prajuru desa adat berkitan dengan penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya.

Dari hasil diskusi itu, ada beberapa hal yang berhasil diputuskan guna meminimalisir dampak ekonomi di masyarakat.

Upaya itu Mertha lakukan dengan memberikan stimulus ekonomi hang dilakukan bekerja sama dengan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Kedonganan.

Melalui upaya ini, LPD Kedonganan mengeluarkan uang dengan besaran sekitar Rp 3,5 miliar yang berasal dari keuntungan perusahaan pada 2019.

Melalui stimulus ini ada dua hal penting yang dicetuskan. Pertama LPD Kedonganan memberikan keringanan kepada masyarakat yang mempunyai cicilan.

Mereka diberikan kesempatan menunda pembayar kewajiban di LPD Kedonganan selama tiga bulan, terhitung dari April ke Juni 2020.

Kebijakan pemunduran pembayaran cicilan ini juga disertai tidak mengenakan denda ke masyarakat.

Selain itu, melalui LPD Kedonganan pihaknya juga memberikan bantuan berupa sembako kepada semua masyarakat adat.

"Jadi hampir 1.200 KK diberikan satu paket bahan makanan senilai hampir Rp 550 ribu per bulan sekali dan ini diberikan selama tiga bulan, (mulai) dari bulan April sampai dengan bulan Juni 2019," tuturnya.

Aktivitas Nelayan Berjalan

Dalam upaya meminimalisir runtuhnya ekonomi masyu, Merta masih memberikan kebijaksanaan agar kegiatan nelayan di Desa Adat Kedonganan bisa tetap berlangsung.

Sebelum memberikan kegiatan nelayan tetap berjalan, sudah didiskusikan secara panjang lebar dengan berbagai pihak terkait di desanya.

Mertha mengakui, kebijakan memberikan kegiatan nelayan tetap berlangsung sebenarnya sebagai situasi yang dilematis.

Baginya, jika aktivitas nelayan ini ditutup seperti pariwisata, maka nafas ekonomi masyarakat adat Kedonganan benar-benar akan putus.

Di sisi lain, aktivitas bongkar-muat nelayan sangat mudah untuk menciptakan kerumunan orang sehingga "melanggar" protokol kesehatan seperti social/physical distancing.

Situasi ini sangat sangat rawan karena bisa dengan mudah menyebarkan Covid-19 jika salah satu di antaranya ada yang tertular.

"(Tapi) kalau kami total berbicara tentang kesehatan tanpa memperhatikan aktivitas ekonomi maka benar-benar nafas Kedonganan bisa putus sama sekali. Karena memang tidak ada lagi aktivitas yang bisa menopang ekonomi kami di desa," tuturnya.

Akhirnya, upaya bongkar muat aktivitas nelayan di Desa Adat Kedonganan tetap dijalankan dengan berupaya menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat, terutama mengenai kerumunan orang diupayakan semaksimal mungkin untuk diurai.

Dalam upaya penerapan protokol kesehatan ini, pihaknya bekerja sama dengan aparatur negara yang bertugas di wilayah di Pantai Kedonganan.

Berbagai aparatur negara itu seperti Polair, syahbadar, TNI angkatan laut, Satpol PP dan sebagainya untuk menjaga secara ketat aktivitas tersebut.

Upaya ini, sebutnya, sebagai bagian melindungi masyarakat karena desa adat kedonganan telah berani membuka aktivitas nelayan.

Tak hanya itu, pihaknya terus berupaya untuk mengoptimalkan keberadaan Satuan Tugas (Satgas) Gotong Royong Penanggulangan Covid-19.

Satgas ini berupa dalam sekala dan niskala sesuai dengan yang telah dicetuskan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.

Secara reguler, jelasnya, Satgas ini juga bekerja sama dengan relawan di masing-masing banjar guna melakukan penyemprotan dan sebagainya.

Setiap masyarakat yang masuk wilayah Desa Adat Kedonganan juga diwajibkan untuk memakai masker. Jika kedapatan masyarakat yang tidak menggunakan masker maka akan dikembalikan ke wilayahnya.

"Itu yang kami lakukan, astungkara sampai sekarang desa kedonganan belum ada krama kami, krama tamiu, dan tamiu di desa kami yang terkena Covid-19," kata dia. (*).

Berita Terkini