Tak sedikit pula rumah tangga yang hancur akibat tampilan pasangan yang dianggap tak lagi sesuai dengan standar tubuh sosial.
• 5 Manfaat Luar Biasa Air Mawar Untuk Kecantikan, Yuk Buat Sendiri di Rumah!
• Tetap Kece Meski di Rumah Aja, Begini Tips Merapikan Alis Sesuai Bentuk Wajah
• Pelatih Bali United Teco: Liga 1 Indonesia Bisa Contoh Protokol Kesehatan yang DIterapkan Bundesliga
Pun, sudah tak terhitung juga banyaknya pecinta yang patah hati karena ditolak cintanya, akibat tak mampu memenuhi harapan tubuh sosial orang yang dicintainya.
Hal-hal semacam ini menjadi fenomena gunung es tersendiri, dan seringkali kita gagal melihatnya sebagai latar lahirnya serangkaian tragedi sosial yang muncul di permukaan; perundungan, kekerasan, hingga hilangnya nyawa.
Lebih jauh, tubuh sosial pun turut menjadi biang ketidakadilan secara luas, dan ini terjadi secara terang-terangan.
Misalnya, bagaimana hampir di setiap lowongan pekerjaan saat ini selalu menyertakan syarat “berpenampilan menarik” bagi para pelamarnya.
Malah, terdapat penelitian yang menyebutkan jika kini penampilan yang menarik lebih penting daripada kompetensi di dunia kerja.
Tentu, hal-hal semacam ini dapat menimbulkan frustasi bagi mereka yang merasa tak berpenampilan menarik atau merasa tak memiliki keparasan tampang.
Padahal, berbagai kualitas tersebut umumnya bersifat bawaan atau alamiah, dan sulit diubah pada batas-batas tertentu.
Di abad ke-21 ini, rasisme ibarat virus SARS, meskipun praktik-praktiknya tak lagi sebanyak di abad sebelumnya, namun tingkat fatalistiknya tinggi.
Sementara, tubuh sosial ibarat Covid-19, didera oleh jauh lebih banyak orang, namun dengan implikasi fatal yang lebih rendah.
Akan tetapi, kita juga tak bisa menyepelekannya, karena karakter yang disebutkan belakangan kerapkali diam-diam menimbulkan dampak sampingan tak kasat mata yang tak kalah berbahaya.
Sejak dahulu hingga kini, praktik-praktik yang didasarkan pada tubuh sosial dalam kehidupan sehari-hari lebih intens dan masif terjadi melampaui yang kita bayangkan, bahkan pada hal-hal yang tak kita duga sebelumnya.
Bagaimana seorang guru lebih memperhatikan siswa-siswinya yang cantik atau tampan di kelas, bagaimana seorang dosen cenderung memberikan nilai bagus pada mahasiswa atau mahasiswi dengan keparasan tampang dan keidealan tubuh, juga bagaimana kita cenderung menerima dan berprasangka baik terhadap mereka yang cantik atau tampan dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Inilah mengapa tubuh sosial sebetulnya tak kalah berbahaya, ia memberikan berbagai penilaian picik melampaui ciri fisik suatu ras atau suku bangsa.(*)