Oleh: Wahyu Budi Nugroho (Sosiolog Universitas Udayana)
Beberapa hari terakhir ini kewaspadaan kita akan Covid-19 seolah diinterupsi oleh meninggalnya George Floyd akibat kekerasan polisi di Minneapolis.
Tak pelak, peristiwa itu seakan memunculkan kembali pertanyaan ihwal problem rasisme di Amerika Serikat meski telah disahkannya UU Hak Sipil oleh Presiden Lyndon B. Johnson pada tahun 1964.
Namun, banyak pihak tak menyadari jika sesungguhnya fenomena “tubuh sosial” tak kalah berbahaya dibanding rasisme.
Selama ini, fenomena tersebut—tubuh sosial—seolah telah diterima secara “apa adanya”, dan tanpa banyak pihak yang mempertanyakannya.
• Relawan BalaTama Gianyar Salurkan Sembako ke Warga Terdampak Covid-19 secara ‘Door to Door’
• Menteri Agama Keluarkan Surat Edaran Panduan Ibadat di Rumah Ibadah, Ini 11 Kewajiban yang Diatur
• Sambangi Puri Agung Klungkung, AA Gde Agung Serahkan Tali Kasih ke Masyarakat
Tubuh sosial menjadi tak kalah berbahaya daripada rasisme karena memiliki jangkauan yang lebih luas ketimbang rasisme.
Apabila secara sederhana rasisme diartikan sebagai pemahaman atau praktik yang berupaya mendiskriminasi ras atau suku bangsa tertentu; maka tubuh sosial melampaui itu.
Tubuh sosial tak hanya menyoal ciri fisik yang berbeda secara ras, tetapi juga stigma terhadap tubuh yang tak ideal meskipun pada sesama ras, terlebih untuk ras yang berlainan.
Dengan demikian, rasisme tergolong dalam tubuh sosial, akan tetapi tubuh sosial sendiri lebih luas daripada rasisme.
Secara ringkas, kita bisa menyebut tubuh sosial sebagai harapan-harapan ideal akan tubuh kita dan orang lain, dan ketika harapan itu tak terpenuhi, timbullah rasa bersalah dan frustasi pada diri, cemoohan dari orang lain, perundungan, hingga diskriminasi.
Secara konkret, kita bisa memisalkan tubuh sosial lewat tampan/cantik atau ideal-tidaknya tubuh seseorang, juga menarik-tidaknya tampilan seseorang. Hal-hal sepele semacam ini, nyatanya memunculkan implikasi sosial yang tak sepele.
Dewasa ini, budaya pop-lah yang menjadi biang utama akan konstruksi tubuh sosial. Budaya pop, baik itu berupa film, musik, iklan-iklan, sastra, atau yang lainnya; selalu menampilkan mereka yang memiliki keparasan tampang dan tubuh ideal sebagai lakon utamanya.
Hal ini lambat-laun memunculkan definisi akan cantik, tampan, atau menarik yang seakan sarat sedemikian rupa.
Industri kosmetik pun mengambil peluang ini, kemudian berbagai perhelatan untuk merayakan ketubuhan yang indah juga digelar secara berkala guna meneguhkan kesan-kesan itu.
Alhasil, tak sedikit dari mereka, baik orang biasa maupun selebritis yang frustasi bahkan hingga mengakhiri hidupnya karena menuai perundungan penggemarnya, yakni ketika kecantikan atau ketampanan, berikut tubuh mereka tak lagi memenuhi harapan para penggemarnya.