Yang artinya: dengan ucapak “Tat” dan tanpa mengharap-harap pahala atas penyelenggaraan ucapan yajna, tapabrata dan juga dana punia yang berbagai macam jenisnya, dilaksanakan oleh mereka yang mengharapkan moksa.
Menurut Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Kertha Bhuana, dari Gria Batur Giri Murti, Glogor, Denpasar, kadang ada orang yang melihat peristiwa bagus atau baik untuk melakukan sedekah.
Misalnya saja mereka melakukan sedekah saat purnama.
"Saat purnama orang sedang senang-senangnya karena melihat bulan purnama. Kan senang melihat bulan bulat bersih. Sehingga sangat baik bersedekah pada orang lain saat sedang senang," kata Ida Rsi.
Memberikan bantuan pada orang yang memerlukan dan orang yang kurang senang pada saat purnama atau pada saat si pemberi itu senang menurut Ida Rsi sangat tepat.
Waktunya tepat dan memberikan sesuatu yang bermanfaat.
Sementara itu, jangan lupa juga melakukan ‘sedekah’ atau persembahan kepada Bhuta Kala dengan segehan.
Sedangkan yang ke atas melakukan persembahan kepada Tuhan dengan kembang.
"Sehingga seimbang persembahan kita. Ke patala ada, dan ka akasa juga ada," kata Ida Rsi.
Ida mencontohkan saat usai perang Bharata Yudha, seorang raja melakukan upacara aswameda.
Walaupun raja melakukan itu, tetapi pendeta yang keluarganya miskin melakukan dengan memungut gandum, memasaknya, lalu dipersembahkan kedapa leluhur.
Sementara itu, sehari setelah Hari Raya Saraswati atau Redite (Minggu) Paing, Wuku Sinta disebut dengan Banyu Pinaruh.
Saat Banyu Pinaruh ini, masyarakat Hindu di Bali biasanya akan melaksanakan upacara pelukatan ke sumber mata air baik ke pantai maupun ke air klebutan.
Ketua Pinandita Sanggraha Nusantara Korda Denpasar, Pinandita Putu Gede Suranata mengatakan, panglukatan Banyu Pinaruh merupakan panglukatan bhuana agung dan bhuwana alit berkat penurunan tirta sanjiwani.
"Banyu Pinaruh berasal dari kata wruh yang berarti mengetahui atau menyadarkan diri. Sehingga dengan pengetahuan jadi bijaksana," katanya.