TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Sabtu (18/7/2020) merupakan Hari Raya Tumpek Landep.
Tumpek Landep dirayakan pada Sabtu Kliwon wuku Landep.
Saat Tumpek Landep, kita akan melihat orang-orang ramai datang ke tempat cuci motor atau mobil untuk mencuci kendaraan mereka.
Hal ini karena akan diupacarai atau dibantenin.
Itulah yang kenyataan di masyarakat.
Padahal jika ditelisik maknanya lebih dalam, Tumpek Landep menurut wakil ketua PHDI, Pinandita I Ketut Swastika memiliki makna otonan atau upacara untuk sarwa (benda) lancip seperti keris, tombak, dan juga peralatan perang lainnya.
Bukan itu saja, Tumpek Landep juga memiliki makna ngelandepang idep atau menajamkan pikiran.
Di Bali, semua siklus peralihan selalu mendapat peralihan khusus dari masyarakat.
Misalkan saat penghabisan siklus pawukon yaitu Watugunung bertemu dengan akhir siklus saptawara atau Saniscara (Sabtu) dimaknai dengan perayaan Saraswati.
Begitu pulalah dengan siklus akhir pancawara yaitu Kliwon dengan siklus akhir saptawara yaitu Saniscara (Sabtu).
Pertemuan siklus akhir pancawara dan saptawara menjadilah tumpek.
Selanjutnya disesuikan dengan pawukon, seperti saat ini tepat dengan wuku landep sehingga disebutlah Tumpek Landep.
Secara tekstual, menurut Dosen Bahasa Bali Unud, Putu Eka Guna Yasa, sebagaimana yang termuat pada Lontar Sundarigama, saat Tumpek Landep ini kita memuja Bhatara Siwa dan Sang Hyang Pasupati nunas (meminta) kasidian atau kekuatan atas senjata-senjata perang.
"Karena saat jaman kerajaan, senjata menjadi sangat penting bagi suatu kerajaan untuk mempertahankan dirinya dari serangan musuh. Sehingga patutlah Tumpek Landep ini digunakan sebagai momentum untuk recharging yaitu dengan upacara selain diasah," kata Guna.
Akan tetapi dewasa ini, berperang tidak lagi menggunakan senjata akan tetapi berperang dengan jnana dan idep.