Kisah Uang Berkaki Empat dan Pandemi
Oleh: Sunarko
TRIBUN-BALI.COM -- Ketika diajak ahli relationship nasional yang juga pakar komunikasi, Dr Aqua Dwipayana M.Ikom, untuk bertamu ke kediaman pengusaha Vincentius Lianto pada awal Juli 2020 lalu, sebetulnya mata saya sudah agak ngantuk.
Saat itu jarum jam hampir menunjukkan pukul 23.00 waktu Denpasar, Bali.
Namun, ketika melihat sambutan tuan rumah, apalagi suasana perbincangan yang tak disangka justru makin malam makin mengasyikkan, saya jadi bersemangat untuk melek. Rasa kantuk pun langsung sirna.
“Pak Aqua, ada ungkapan dari seorang bijak yang berbunyi begini ‘uang memiliki empat kaki, manusia hanya memiliki dua kaki’,” demikian diantara ucapan yang meluncur malam itu dari Vincentius Lianto, pendiri (founder) sekaligus chairman DV Medika.
DV Medika adalah perusahaan yang bergerak dalam penyediaan peralatan kesehatan dan penunjangnya, serta memproduksi dan memasok pula alat pelindung diri (APD) antara lain masker, hand sanitizer dan ventilator.
Bisa dibilang, DV Medika adalah salah-satu di antara pemain besar dalam penyediaan peralatan kesehatan dan penunjangnya di Indonesia.
Lianto, panggilan Vincentius Lianto, lantas menjelaskan maksud ‘uang berkaki empat, manusia berkaki dua’ itu.
Bagi pengusaha berusia 53 tahun ini, berbisnis tidak hanya mengutamakan kalkulasi uang semata.
Berbisnis, kata Lianto, juga bisa menjadi sarana untuk menanam budi baik.
Dengan demikian, menjadi penting bahwa pebisnis memiliki empati kepada para stakeholder-nya, termasuk konsumennya.
Dengan menjaga keseimbangan antara kepentingan meraih laba dan kepedulian sosial, maka reputasi baik akan terbentuk.
Reputasi baik akan menjadi hal positif yang membekas dan diingat, sehingga ujungnya sebetulnya kembali kepada si pengusaha itu sendiri.
“Sekali lagi, uang itu berkaki empat. Dikejar seperti apapun oleh manusia yang berkaki dua, manusia pasti tertinggal dan makin jauh tertinggal. Memang, ketika manusia ngebut mengejarnya, dia bisa mendapatkan uang itu, tapi uang tetap akan lari lebih cepat dari kecepatan lari manusia,” jelas Lianto.
“Kalau demikian halnya, kapan akan selesai mengejar uang? Yang pasti, manusia akan capek dan habis sendiri. Karena uang tidak akan pernah bisa benar-benar dikejar. Makin serakah mengejarnya, uang makin berlari kencang,” ia menambahkan.
Namun demikian, hal yang terlihat paradoks tetapi ajaib dan nyata adalah, ketika budi baik yang ditanam, justru uang yang kemudian menghampiri atau mengejar manusia.
Bayangkan, kaki empat mengejar kaki dua, tentu terkejarnya sangat cepat !
“Kalau kita menanam budi baik, maka orang percaya pada kita. Kalau sudah percaya, maka mereka akan setia. Dalam bisnis, orang yang percaya pada kita akan menjadi loyal customer. Di situlah rezeki justru mendatangi atau mengejar kita,” terang Lianto yang murah senyum ini.
Lianto tak sekadar bicara. Ia meresapi betul apa yang ia ungkapkan itu, karena Lianto membuktikannya sendiri dalam praktik berbisnis.
Di tengah pandemi Covid-19, sebagai pengusaha peralatan kesehatan dan APD, sesungguhnya Lianto punya peluang besar untuk mengeruk banyak keuntungan.
Seperti diketahui, permintaan peralatan kesehatan dan APD mengalami lonjakan tinggi selama pandemi.
Namun, dalam situasi melambungnya permintaan itu, Lianto malah menghindari aji mumpung.
Ia memilih mengambil jalan menuruti nuraninya. Perusahaannya justru menentukan harga jual APD, salah-satunya masker, di bawah harga pasar.
Bagi Lianto, situasi pandemi bukanlah momentum untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya.
Dalam wawancaranya dengan majalah SWA belum lama ini, Lianto menyebutkan, perusahaannya malah memberikan harga khusus agar barangnya lebih terjangkau lagi.
Bahkan beberapa diantaranya diberikannya cuma-cuma ke rumah sakit yang dianggapnya perlu dibantu dan benar-benar kesulitan dalam menangani wabah. Juga kepada yayasan kemanusiaan dan masyarakat yang tidak mampu memperolehnya.
“Selama ini pelanggan kami sangat mengapresiasi cara kami dalam berbisnis. Karenanya, kami memiliki basic customer loyal yang terus bertambah. Maka, di saat mereka mengalami kondisi yang sulit sekarang, sudah sepantasnya kami membantu,” kata Lianto.
Dia menyebut praktik bisnis yang dijalankannya sebagai spiritual marketing atau marketing with heart.
Dalam bukunya The Corporate Mystic, Gay Hendricks dan Kate Ludeman menulis bahwa di era pasar global, cukup mudah dijumpai para santa, mistikus atau sufi di perusahaan-perusahaan besar atau organisasi-organisasi modern, bukan malah di tempat-tempat ibadah.
Setelah melakukan tak kurang dari 1000 jam wawancara dengan ratusan pengusaha dan eksekutif perusahaan-perusahaan sukses di Amerika Serikat (AS), Hendricks dan Ludeman mendapati bahwa para pebisnis itu memiliki sifat-sifat yang biasanya dimiliki oleh para mistikus.
Dikemukakan, belakangan ini concern perusahaan besar terhadap aspek etik telah berkembang ke semacam “spiritualisasi” manajemen.
Perusahaan-perusahaan itu melihat kaitan yang amat erat antara spiritualitas dengan keberhasilan bisnis.
Spiritualitas didefinisikan sebagai keadaan yang melampaui (beyond), serta visioner. Bukan sekadar urusan di sini, di dunia ini saja, yang sempit dan hanya jangka pendek. Dia sudah transendental, ilahiah.
Siapakah mistikus korporat itu?
Hendricks dan Ludeman menyebut, mereka adalah orang-orang yang melihat perusahaan bukan sekadar sebagai mesin-mesin pencari keuntungan atau kumpulan makhluk ekonomi.
Namun, perusahaan merupakan perwujudan kolektif dari jiwa (spirit) manusia-manusia yang bekerja di dalam perusahaannya, yang memiliki nurani.
Mereka terlibat dalam bisnis tidak cuma karena digerakkan oleh urusan dompet, tapi juga oleh hati.
Mereka adalah para visioner, namun dengan kaki tetap menginjak tanah. Intinya, bagaimana sukses berbisnis dengan hati.
Di rumah Lianto malam itu, sepertinya apa yang ditulis oleh David R. Hawkins sebagai like goes to like (dalam bukunya Letting Go) menemukan buktinya.
Maksud Hawkins, orang dengan energi positif akan ditemukan dengan orang yang berenergi positif pula. Yang serupa akan saling bertemu. Saya merasa beruntung.
Apalagi, dalam kesempatan itu Dr Aqua Dwipayana M.Ikom juga mengungkapkan bahwa praktik silaturahim dan komunikasi yang dijalaninya selama ini, menekankan tentang pentingnya ketulusan.
“Saya mengenal dan memiliki network dengan banyak pengusaha serta pejabat, dan saya berusaha membantu mereka satu sama lain untuk kepentingan kebaikan bersama. Saya tak sampai berpikir tentang fee atau komisi dalam membantu mereka, karena saya bukan makelar. Terlalu murah harga saya kalau diukur dengan komisi. Saya sudah ikut senang ketika melihat teman-teman saya terbantu dan sukses," terang Aqua.
"Ajaibnya, karena saya berniat serta berusaha membantu sebisanya dengan tulus, rezeki malah datang sendiri. Jadi, tidak usah khawatir nggak dapat rezeki asalkan kita terus bergerak, terus berikhtiar sembari berdoa,” imbuh Aqua, yang pernah jadi jurnalis dan profesional kehumasan di sebuah perusahaan multinasional selama belasan tahun sebelum memilih 'pensiun' untuk berusaha secara mandiri sebagai 'orang bebas' pada tahun 2005.
Dalam bukunya Quantum Ikhlas, Erbe Sentanu mengungkapkan bahwa kebaikan yang tulus, yaitu kebaikan yang dilakukan demi mempromosikan makna kebaikan itu sendiri (unconditional kindness), memiliki energi tak terbatas (indifinite).
Sepertinya aneh memang, tetapi itu nyata. Karena tak mengharapkan apa-apa, maka kemungkinan imbalannya justru tak terkirakan atau serba mungkin.
Imbalan bisa eksponensial atau berlipat-lipat bahkan bisa terjadi miracle atau keajaiban yang tak diduga-duga.
Sedangkan kebaikan yang berpamrih atau transaksional, imbalannya justru terbatas. Yakni terbatas pada pamrih atau maksud yang diharapkan. Wallahua'lam
Bagaimana pendapat Anda?