Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Bali 2020-2050.
Kesepakatan itu muncul dalam rapat paripurna ke-10 masa persidangan II tahun 2020 DPRD Bali, Selasa (21/7/2020).
Melalui Raperda RUED 2020-2050 itu, Pemprov Bali berkomitmen untuk mewujudkan Bali sebagai daerah yang mandiri energi menggunakan energi bersih, khususnya melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Di dalam Ranperda tersebut, DPRD bersama Pemprov Bali merancang adanya insentif dan penghargaan bagi masyarakat dan perusahaan yang bersedia menggunakan EBT.
• Kisah Ayah Wisuda Putrinya di Bilik Warnet karena Tak Punya Laptop, Jual Es agar Anak Lulus Sarjana
• Pemanfaatan EBT Mengalami Kendala, Bali Masih Bergantung Pada Energi Fosil
• Saat Ini Bali Baru Gunakan EBT Sebesar 0.59 Persen, Target Tahun 2025 Capai 11 Persen
Koordinator Pembahasan Ranperda tentang RUED Provinsi Bali tahun 2020-2050, I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi Wedasteraputri Suyasa mengatakan, pemilihan sumber EBT lebih sering terkendala pada nilai keekonomisannya.
Pihaknya mengaku telah belajar dari pengalaman yang ada melalui Pembangkitan Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kayubihi-Bangli dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB) di Nusa Penida-Klungkung.
"Produksinya tidak seberapa besar, sedangkan nilai investasi peralatan dan lahannya demikian besar, sehingga berakibat dibebankan pada harga/tarif per kilo watt hour (KWH) energi listrik yang dipergunakan," kata Diah Werdhi saat menyampaikan laporan akhirnya dalam rapat paripurna tersebut.
Ia mencontohkan, energi listrik yang dihasilkan oleh solar cell baru layak dijual dengan harga Rp 3.000/kwh, sedangkan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) seharga Rp 1.460/kwh sehingga ada selisih hampir dua kali lipat.
Agar mempunyai kemampuan bersaing, harga listrik dari solar cell itu mesti disubsidi agar tidak membebani masyarakat umum.
Belum lagi ekuivalen untuk menghasilkan tenaga listrik sebesar 100 MW melalui solar cell kira-kira akan memerlukan seluas 120 hektare lahan.
Diah Werdhi mengakui, secara filosofis yang menjadi dasar pertimbangan dalam Raperda ini bukan hanya soal nilai ekonomi, tetapi juga harga pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
"Karena itu di dalam pembahasan-pembahasan gabungan kami mendorong adanya mekanisme subsidi silang atau insentif-disinsentif berkaitan dengan niat baik bersama ini," kata Ketua Komisi III DPRD Bali itu.
Dirinya menuturkan, mekanisme subsidi silang itu dilakukan antara industri atau pelanggan komersial yang belum mau menggunakan EBT akan dikenai disinsentif.
Disinsentif itulah yang akan menjadi Insentif bagi masyarakat umum yang sudah mau menggunakan EBT.