Kisah Putu Puspawati Mendidik Anak Autis, Berubah Sedikit Saja Senangnya Luar Biasa

Penulis: Putu Supartika
Editor: Ady Sucipto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

MEMBIMBING - Relawan mendampingi dan membimbing anak autis di Yayasan Sehati Bali, Jalan Ken Arok, Denpasar, Senin (27/7/2020). Yayasan ini telah mendidik 30 anak autis.

Hingga kini sudah 4 kelas yang dia miliki untuk memberikan pendidikan atau terapi bagi anak autis.

Di tempat ini ada tingkatan pendidikan yakni pendidikan dasar, pendidikan transisi dan mandiri.

Untuk pendidikan dasar, anak-anak diajarkan mulai dari hal-hal kecil yakni toilet training seperti kencing, cebokan, memahami rasa sakit.

Kemudian pada tahap pendidikan transisi mereka sudah bisa duduk dan diam. Pada level pendidikan mandiri, anak autis sudah bisa melakukan kegiatan tulis-menulis.

Ketika pertama kali mendidik anak autis, Puspawati mendapat mainan dari pemulung. Dia tidak sanggup beli karena harga sarana pendidikan anak autis sangat mahal.

"Kami pakai botol bekas dan kelereng. Kami ajarkan anak-anak memasukkan kelereng ke botol. Menyamakan warna, itu kami pakai mainan dari pemulung," katanya.

Mendidik anak autis bukan perkara gampang. Harus penuh kesabaran dan dimulai dari hal-hal kecil.

Bahkan untuk mengajarkan anak autis bisa meremas atau merobek pun butuh waktu berminggu-minggu.

"Dari tidak bisa makan sendiri, menjadi bisa makan sendiri, itu sudah kayak sarjana. Kalau bisa yang lain lagi, udah naik tingkat seperti S2. Itu kepuasan luar biasa yang tidak bisa didapat dari tempat lain. Berubah sedikit saja senangnya luar biasa," tuturnya.

Pembelajaran berlangsung setiap hari Senin hingga Jumat mulai pukul 08.00 hingga pukul 11.00 Wita. Pembelajaran diawali doa atau persembahyangan sesuai agama masing-masing.

Setelah itu senam lalu berbaris dan masuk kelas masing-masing. Siangnya mereka belajar makan, mencuci piring, menggosok gigi yang dilakukan secara berulang-ulang agar siswa menjadi terbiasa.

Pada masa pandemi Covid-19 ini, pembelajaran dilakukan secara bergiliran. Setiap hari diikuti hanya 10 anak autis.

"Awal pandemi dapat libur satu minggu. Tapi orangtua banyak yang menelepon, katanya anaknya banyak yang berubah, kan kasihan, jadinya saya buat secara bergiliran," katanya. (i putu supartika)

Berita Terkini