TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sidang perkara dugaan ujaran kebencian dengan terdakwa I Gede Ary Astina alias Jerinx (JRX) kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali, Selasa (20/10/2020).
Kali ini sidang memasuki agenda mendengarkan keterangan para saksi yang dihadrirkan tim penasihat hukum Jerinx.
Tim hukum Jerinx yang dikomandoi oleh I Wayan “Gendo” Suardana menghadirkan empat saksi, dua saksi diantaranya adalah rekan Jerinx di band Superman Is Dead (SID), yakni Eka Rock dan Bobby Kool.
Namun sebelum keduanya memberikan keterangan, adalah pasangan suami istri (pasutri) Gusti Ayu Arianti dan Nyoman Yudi Prasetya Jaya yang terlebih dahulu diminta keterangannya bergantian di persidangan.
Baca juga: BUMN Umumkan Kandidat CSR Award Provinsi Bali Tahun 2020
Baca juga: Update Covid-19, Menkes Terawan Ungkap Belum Ada Vaksin Covid-19 untuk Anak dan Lansia
Baca juga: Bupati Suwirta Terima Bantuan APD dari Anggota Komisi III DPD RI Anak Agung Gde Agung
Dihadapan majelis hakim pimpinan Hakim Ida Ayu Adnya Dewi, sebelum mendengarkan keterangan saksi, Gendo menjelaskan dihadirkannya Arianti sebagai saksi di persidangan.
“Gusti Ayu Arianti dihadirkan sebagai saksi terkait dengan postingan Jerinx yang berisi mengenai hasil rapid test menyulitkan ibu-ibu yang akan bersalin. Saksi yang kami hadirkan adalah salah satu korban dari prosedur rapid test yang mengalami situasi sudah pecah ketuban, kemudian dipaksakan rapid test dan tidak ditangani. Lalu beberapa jam kemudian bayi saksi setelah dioperasi, meninggal dunia,” jelasnya.
Arianti pun menimpali dan menyatakan setuju untuk memberikan keterangan di persidangan.
Dikatakannya, bahwa apa yang dialaminya hingga menyebabkan buah hatinya meninggal, sama dengan yang disampaikan Jerinx dalam postingannya.
“Saya setuju dihadirkan sebagai saksi di persidangan. Karena untuk ibu hamil kenapa nyawanya tidak ditolong terlebih dahulu. Seperti protes yang disampaikan Jerinx. Saya ke sini mau memberikan pernyataan bahwa apa yang saya alami sama dengan apa yang dibilang oleh Jerinx,” ucapnya.
Setelah itu, saksi yang keseharian sebagai ibu rumah tangga ini pun menceritakan kepada majelis hakim, kronologis proses bersalin yang mendapat penolakan dari rumah sakit.
Kata Arianti, sebelum dirinya melahirkan harus diwajibkan melakukan prosedur rapid test.
“Saya tahu ada prosedur rapid test itu saat pecah ketuban. Itu baru dikasi tahu oleh petugas rumah sakit di RSAD Kota Mataram. Kejadiannya 18 Agustus 2020 saat itu kondisi saya sudah pecah ketuban. Oleh petugas saya diminta rapid test terlebih dahulu, padahal saya sudah bilang bahwa saya sudah pecah ketuban. Petugas tidak ada penjelasan lebih lanjut lagi dan hanya bilang prosedurnya memang seperti itu. Saya diminta rapid test dulu, baru bisa ditangani,” tutur Arianti.
Dari RSAD Mataram, dalam kondisi pecah ketuban dengan diantar oleh suaminya, Arianti kemudian ke puskesmas untuk mendapatkan rapid test.
“Saat ke rumah sakit saya didampingi suami. Saya pecah ketuban jam 7 pagi. Kemudian saya diantar suami ke RSAD Mataram, karena tidak ada rapid test saya dioper ke puskesmas. Saya sempat pulang dulu, setelah itu baru ke puskesmas. Sampai di puskesmas, suami saya disuruh daftar dan antre. Suami saya tidak mau antre, karena kondisinya sudah emergency. Suami saya bilang rapid test di halaman puskesmas, hasilnya keluar 30 menit. Saya tunggu sampai 30 menit hasil belum keluar juga. Sampai dua kali saya minta tolong ke bidan tapi tidak ditolong. Bidannya hanya menyuruh saya menunggu hasil rapid test keluar,” jelasnya.
Selama hampr 4 jam lantaran prosedur rapid test, kata Arianti, dirinya baru mendapat penanganan oleh pihak Rumah Sakit Pertama Hati.