600 KK Petani Arak di Tri Eka Buana Karangasem Terancam Nganggur Jika RUU Larangan Minol Disahkan

Penulis: Saiful Rohim
Editor: Widyartha Suryawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi minuman beralkohol.

TRIBUN-BALI.COM, KARANGASEM - Sekitar 600 Kepala Keluarga (KK) petani arak di Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem terancam menjadi pengangguran jika Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Larangan Minol) disahkan DPR RI.

Perbekel Tri Eka Buana, Ketut Derka, mengatakan, dari 715 KK di Desa Tri Eka Buana, sebanyak 600 KK bekerja sebagai petani arak.

Jika rancangan UU terkait larang minuman alkohol disahkaan, kata dia, otomatis 600 KK terancam menjadi pengangguran.

"Tanggapan saya tidak terima (RUU Larangan Minuman Beralkohol). RUU ini sama dengan membunuh ekonomi masyarakat. Apakah tak adanya alkohol, negara ini akan aman?" tanya Ketut Derka, Senin (16/11/2020).

Pihaknya berharap rancangan tersebut tak dilanjutkan. Mengingat warga yang berprofesi sebagai petani di Bumi Lahar banyak.

Ditambahkan, tidak hanya petani di Desa Tri Eka Buana yang terkena imbas.

Petani arak di kecamatan lainnya juga akan terdampak jika RUU tersebut disahkan.

Petani arak di Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen memproses minuman arak dengan cara tradisional. (Tribun Bali/Saiful Rohim)

Sebelumnya, I Nyoman Redana, petani arak asal Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, mengatakan rencana  pemerintah (DPR) membahas RUU terkait larangan minuman alkohol merupakan kebijakan yang tak peduli dengan petani.

Menurutnya, kebijakan tersebut sama dengan memasung petani arak untuk mencari nafkah.

"Memang sampai hari ini saya belum mendengar ada informasi tersebut. Tapi jika meemang benar, saya sebagai petani arak merasa terpasung. Kebebasaan kami mencari nafkah seperti dibatasi," ungkap I Nyoman Redana, Jumat  (13/11/2020) siang.

Baca juga: Pagi Habis Mandi Sudah Berkeringat Lagi, Ini Penjelasan BMKG Soal Cuaca Panas Beberapa Hari Terakhir

Menurut data dari Dinas Perindutrsian & Perdagangan (Disprindag) Karangasem, jumlah  petani arak mencapai 7.600 orang dan tersebar di empat kecamatan.

Yakni Kecamatan Manggis, Sidemen, Abang, serta Kec. Kubu. Seperti di Desa Telagatawang, Tenganan, Sidemen,  Merita, dan Dukuh.

Dari jumlah petani arak di Karangasem tersebut, sekitar 800 orang dari merupakan warga Kecamatan Manggis. Kecamatan Abang sekitar 2.500 orang, dan Kecamatan Kubu sekitar 600 orang.

Paling banyak dari Kecamatan Sidemen, mencapai sekitar 3.800 petani arak.

Koster: Nggak Akan Jadi Itu
Saat ini DPR RI tengah berencana membahas Rancangan Undang-undang tentang Minuman Beralkohol atau Larangan Minuman Beralkohol (RUU Mikol).

Draf RUU itu melarang setiap orang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual minuman beralkohol di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

RUU ini kemudian masuk kembali dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 sebagai usul inisiatif DPR.

Sementara itu, saat ini di Bali tengah digencarkan produksi arak Bali.

Bahkan arak Bali sudah dilindungi melalui Pergub Nomor 1 tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan atau Destilasi Khas Bali.

Baca juga: Kronologi Meninggalnya Nyoman Martini Saat Kunker di Bandung, DPRD Klungkung Kehilangan Sosok “Ibu”

Terkait polemik RUU Mikol ini, Gubernur Bali, Wayan Koster tak mau berkomentar banyak.

Ia hanya berkomentar singkat bahwa RUU tersebut tidak akan jalan dan mengatakan hal itu masih jauh. 

Hal tersebut dikatakannya usai acara penyerahan bantuan pemerintah bagi pelaku usaha mikro (BPUM) secara simbolis di Wiswa Sabha Kantor Gubernur Bali, Sabtu (14/11/2020) siang. 

"Masih jauh," katanya.

"Jangan dulu ngomong. Waktunya masih panjang. Nggak akan jadi itu," katanya.

Namun saat diminta untuk menegaskan jawabannya, ia enggan menjawab.

Tak Hanya di Bali
Jika RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang, maka minuman beralkohol seperti cap tikus yang menjadi komoditi andalan petani di Sulawesi Utara ( Sulut) ini akan dilarang produksi , disimpan dan dikonsumsi oleh pemerintah.

Menanggapi hal tersebut, petani cap tikus Sulawesi Utara Setli Kohdong mengatakan, pemerintah pusat seharusnya mencarikan solusi bukan melarangnya.

"Perlu dikaji mendalam, karena menyangkut kearifan lokal yang sudah berabad-abad diwariskan para leluhur," kata Setli, Senin (16/11/2020).

Mantan anggota DPRD Minahasa Selatan itu menambahkan, salah satu mata pencaharian terbanyak di Sulawesi Utara adalah sektor pertanian.

Di dalamnya, banyak warga di beberapa daerah di Sulut mengandalkan pendapatan mereka dari hasil minuman tradisional beralkohol seperti cap tikus.

"Jadi harus dipertahankan minuman tradisional ini. Karena dari hasil cap tikus banyak petani berhasil menyekolahkan anak mereka sampai sarjana, seperti di Minahasa Selatan," ujarnya.

Seperti diketahui, nomenklatur larangan dalam RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol masih menjadi perdebatan.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno mengatakan, sebagian besar fraksi mengusulkan agar sebaiknya digunakan nomenklatur lain, seperti "pengendalian" atau "pengawasan" minuman beralkohol sebagai judul RUU.

"Yang jadi masalah adalah nomenklatur 'larangan' yang tidak disetujui sebagian besar fraksi," kata Hendrawan saat dihubungi, Kamis (12/11/2020).

Hendrawan menyebut Fraksi PDI-P merupakan salah satu fraksi yang tidak sepakat dengan penggunaan kata "larangan".

Baca juga: Terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol, Petani Arak Karangasem Merasa Terpasung

Beberapa alasannya, pertama, minuman beralkohol menjadi bagian dari budaya kelompok masyarakat di berbagai daerah.

Kedua, banyaknya UMKM yang terlibat dalam industri minuman beralkohol.

Ketiga, agar konsisten dengan UU tentang cukai, khusus yang berkaitan dengan pengendalian minuman beralkohol.

Namun, Hendrawan mengatakan, belum ada sikap tegas fraksi soal urgensi pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol.

"Soal urgensi nanti kita lihat. Setiap fraksi punya asesmen yang berbeda," ucapnya.

(Tribun Bali/Saiful Rohim, Kompas.com/Skivo Marcelino Mandey)

Berita Terkini