Survei dilakukan selama 1 bulan, antara 12 Oktober-10 November 2020.
Survei dilakukan secara daring (online) yang disebarkan melalui kanal-kanal media sosial, aplikasi percakapan, website dan email pengguna Change.org Indonesia, serta jejaring mitra penyelenggara.
Survei dilakukan terhadap 9.087 responden yang tersebar di 34 provinsi, termasuk Bali.
Mayoritas responden survei yaitu 82 persen adalah anak muda di rentang usia 17-30 tahun yang merupakan warga muda aktif pengguna media sosial.
Data KPU pada Pemilu 2019 menyebutkan pemilih muda pada usia 17-30 tahun mencapai 60 juta orang atau sekitar 31 persen dari total Data Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019.
Menanggapi hal tersebut, Komisioner KPU Bali, Gede John Darmawan mengaku santai dengan hasil survei tersebut.
Ia mengaku bahwa secara umum jika melihat hasil survei tersebut menurutnya sebanyak 79 persen sebenarnya para generasi milenial sudah memahami adanya Pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang.
“79 persen kan dalam artian sudah, kalau bahasa antusias dia pasti datang, kan yang 52 persen tidak bisa dikatakan diartikan tidak antusias, tapi hanya menganggap hal yang biasa, sekarang bagaimana kita menggarap yang 52 persen ini dulu, menjadi antusias. Yang 14 persen biasa aja, itu sebenarnya tantangan kita,” paparnya saat dikonfirmasi terpisah, Selasa (24/11/2020)
Pun begitu, mengatakan bahwa pihaknya sudah merancang berbagai formula untuk menarik masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Salah satunya melalui pertemuan tatap muka terbatas dengan penerapan protokol kesehatan.
“Kita sudah bergerak massif sekali, satu pertemuan tatap muka sudah kita open, tetapi tentu saja terbatas dengan penerapan protokol kesehatan,” ujarnya.
Selain itu, menggencarkan sosialisasi melalui media sosial (medsos).
Pihaknya pun menjamin jika masyarakat yang datang ke TPS di jamin aman karena sudah diterapkan dengan protokol kesehatan yang ketat.
“Anak muda dan milenial juga, kita jor-joran di medsos untuk mengajak masyarakat datang ke TPS,” ucapnya
Peneliti dari Perludem Maharddhika menyebut hasil survei yang ada merupakan tanda bahaya, karena dapat diartikan, anak muda masih kurang peduli dengan calon pemimpin di daerah mereka.
Atau yang terjadi sebaliknya, calon pemimpin daerah memang masih begitu berjarak dengan pemuda-pemudi di daerahnya sendiri.
“Ini bisa jadi akibat kurangnya interaksi, sosialisasi, kontribusi, dan kolaborasi antara pemimpin daerah bersama komunitas-komunitas anak muda di daerahnya,” ujar Maharddhika. (*).