TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Para pedagang tempe dan tahu yang berjualan di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur memilih tutup seiring melambungnya harga kedelai.
Padahal warga rela bayar tinggi meski harganya mahal.
Seorang warga, Nurohatun (53) mengaku siap membeli tempe dan tahu dengan harga tinggi karena dua produk olahan kedelai itu makanan pokok bagi masyarakat Indonesia.
"Ya itu makanan wajib, makanya kalau di jual mahal juga pasti dibeli," ujar Nurohatun, Minggu (3/1/2021).
Baca juga: Resep Tempe Penyet Sambal Terasi, Lumuri Tempe Bersama Campuran Bumbu Halus dan Air
Ditambah lagi sebagai pemilik rumah makan, dirinya kerap ditanyakan para pelanggan yang tidak melihat hidangan tempe dan tahu selama tiga hari belakangan.
"Makanya saya berharap tempe sama tahu ada lagi, makanan di warung saya kayak sepi karena nggak ada keduanya," katanya.
Pengakuan senada juga disampaikan Windy (41) dimana belakangan hidangan berupa gorengan tempe dan tahu untuk sementara tidak ada.
"Pada nanyain semua, cuma saya bilang aja lagi mogok makanya nggak ada tempe sama tahu," ungkap Windy.
Ia pun berharap agar aksi mogok para pengrajin dan pedagang tempe dan tahu segera berakhir.
Windy juga mengaku siap apabila nantinya harga keduanya naik mencapai 30 persen.
"Itu makanan yang dicari setiap hari, makanya mau dijual berapa saja pasti dibeli. Karena seperti sudah menjadi kebutuhan," ucapnya.
Produsen tahu-tempe mogok produksi
Ribuan pengrajin tempe dan tahu sejabodetabek gelar mogok produksi Sabtu (2/1/2021).
Mereka mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberantas cukong-cukong yang membuat harga kedelai melonjak tajam.
Salah satu perwakilan dari pengrajin tempe sejabodetabek Khairun Soleh mengatakan bahwa para pengrajin tempe sejabodetabek sudah gelar aksi mogok sejak Jumat (1/1/2021).
Baca juga: Tips Memasak Tempe Bacem Tanpa Kecap Manis, Rendam dengan Air Rebusan
Rencananya mogok akan berlangsung selama tiga hari sehingga Senin (4/1/2021) para pengrajin tempe akan kembali berproduksi.
"Namun kemungkinan ada kenaikan di pasar usai aksi mogok ini selesai, karena mau bagaimana lagi harga kedelai juga melonjak," terang pengrajin tempe dari Johar Baru, Jakarta Pusat itu dihubungi Sabtu (2/1/2021).
Kenaikan diprediksi mencapai Rp 500 per balok tempe ataupun tahu.
Kenaikan harga itupun kata Khairun tidak menutup pengeluaran produksi.
Para pengrajin tempe dan tahu tidak tega menaikkan harga berkali-kali lipat di pasaran mengikuti persis harga kedelai.
Sebab kata Khairun pembeli tempe dan tahu mayoritas adalah warga menengah ke bawah sehingga pihaknya tidak mau membebani rakyat kecil.
Maka dari itu ia berharap Presiden dan DPR RI segera memanggil Menteri Perdagangan RI dan Menteri Pertanian.
Dengan begitu, para cukong-cukong kedelai yang diduga membuat harga kedelai melonjak dapat diberantas.
Saat ini harga kedelai di pasaran dapat mencapai Rp 9.500 per kilogram.
Padahal umumnya harga kedelai hanya Rp7.000 per kg.
Baca juga: Tips Bikin Tempe Orek Garing Tahan Lama ala Warteg, Tunggu hingga Gula Mengental
Kenaikan harga mencapai 40 persen itu sudah terjadi sejak sebulan lalu.
Menurut Khairun, kenaikan drastis itu baru terjadi selama tujuh tahun terakhir..
"Terakhir kami aksi mogok seperti ini tujuh tahun lalu saat era SBY. Setelah mogok harga kedelai langsung Rp 6.800 per kilogram," tutur Khairun.
Para pengrajin tempe berharap, dengan aksi mogok ini, pemerintah khususnya Presiden Jokowi dapat mencari solusi dalam menekan harga kedelai.
Sebab apabila hal ini dibiarkan, maka satu persatu pengrajin tempe dan tahu akan gulung tikar karena tidak sanggup mengongkosi biaya produksi.
"Jadi supaya cukong-cukong importir itu dipanggil sama bapak menteri. Apa kenaikan kedelai ini sandiwara di tengah Pandemi Covid-19," harap Khairun.
Sampai saat ini kata Khairun belum ada pihak dari pemerintah atau DPR RI yang memanggil mereka untuk berdiskusi.
Andalkan impor
Kenaikan harga tempe dan tahu di tahun 2021 ini dipicu dari ketergantungan impor Indonesia terhadap tiga negara produsen kedelai.
Pengamat pangan Dwi Andreas Santosa mengatakan bahwa sampai saat ini Indonesia masih bergantung bahan baku tempe dan tahu dari Amerika Serikat, Brazil, dan Argentina.
Sedangkan, akhir tahun lalu Brazil sudah mengimpor besar-besaran kedelai kepada China jauh sebelum harga kedelai mulai merangkak naik.
Hal itu membuat pasokan impor kedelai di Brazil juga menipis.
Sementara itu di Argentina, akhir tahun lalu negara itu hadapi mogok besar-besaran dari petani.
Aksi mogok petani itu membuat pasokan kedelai Argentina terganggu. Hal itu membuat Argentina menyetop sementara keran impor kedelai guna memenuhi stok dalam negeri.
"Jadi yang masih terbuka tinggal Amerika Serikat. Tapi karena dua negara lain kesulitan ekspor maka harga kedelai naik tinggi," ujarnya dihubungi Sabtu (2/1/2021).
Saat ini kata Dwi harga kedelai memang mencapai puncak tertinggi sejak tahun 2014 lalu. Dimana harga 27 kg kedelai mencapai 13 USD.
Maka dari itu menurutnya yang dapat dilakukan produsen dan penikmat tempe hanya pasrah menunggu harga kedelai impor kembali normal.
Menurutnya hal ini akan terus terulang apabila kebijakan pemerintah yang tidak pro dengan petani kedelai lokal terus dilakukan.
Sampai saat ini pemerintah enggan memberikan subsidi dan stimulus kepada petani kedelai lokal untuk bersaing dengan produk petani impor.
Terlebih pemerintah Indonesia membuka besar-besar keran impor kedelai. Hal itu membuat petani kedelai lokal semakin terjepit untuk bersaing dengan harga kedelai impor.
Sedangkan harga kedelai impor dapat mencapai Rp 7 ribu per kg. Jauh dari harga yang mampu ditawarkan oleh petani lokal.
Maka penting kata Dwi, pemerintah mulai melirik kebijakan swasembada kedelai.
Yakni dengan memberi subsidi kepada para petani kedelai agar dapat bersaing harga dengan kedelai dari Amerika Serikat.
Selain itu perlu juga pembatasan impor kedelai agar petani lokal dapat bersaing di negeri sendiri.
"Tapi inikan faktanya petani selama ini dibiarkan berjuang sendiri kemudian digempur dengan produk impor ya selesailah," terangnya.(*)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Tempe dan Tahu Langka Buntut Pengrajin Mogok Produksi, Warga Rela Beli dengan Harga Tinggi,