Setelah beberapa tahun kerja di hotel sebagai accounting, sekitar tahun 1993 tiba-tiba dirinya diminta berhenti oleh salah satu keluarganya.
Ia disarankan untuk menempuh pendidikan lagi di managemen properti.
"Waktu itu saya sempat bingung, ketika lagi nyaman kerja di hotel diminta untuk berhenti dan melanjutkan kuliah lagi. Akhirnya saya meminta saran dan koordinasi kepada keluarga. Astungkara keluarga saya mendukung. Saya diminta untuk mencari ilmu setinggi-tingginya untuk bekal hidup. karena saat itu saya juga masih muda dan belum menikah," ungkapnya.
Sanjaya pun memantapkan diri berangkat ke Jakarta untuk mengambil studi managemen properti selama setahun.
Tahun 1994, ia memulai merintis usaha properti menjadi developer (pengembang) seperti menjual tanah kapling, perumahan, dan sebagainya yang berhubungan dengan properti.
“Saat itu, menjadi developer adalah pilihan yang baik, karena usaha properti sedang booming,” tandas Sanjaya, yang sukses menjadi developer dan jaringannya pun makin luas.
Hingga akhirnya reformasi bergulir di tahun 1998.
Saat itu, teman-temannya mengajak Sanjaya ikut mengisi gerakan reformasi untuk membuat sebuah perubahan.
Tapi pada masa awal reformasi itu Sanjaya belum ingin terjun ke dunia politik.
Ia lebih memilih menjadi donatur untuk gerakan reformasi.
• Penjual Es dan Pencari Batu Kali Itu Kini Jadi Bupati Jembrana, Begini Perjalanan Hidup Nengah Tamba
Terjun ke Dunia Politik
Beberapa tahun berselang, teman-temannya kembali datang kepada dirinya untuk terjun ke dunia politik.
Dengan pertimbangan matang, ia akhirnya menerima tawaran tersebut.
Ia pun langsung didaulat menjadi pengurus anak ranting PDIP di Banjar Dauh Pala, tempat kelahirannya.
"Jadi awalnya sekitar usia 35 tahun saya didaulat menjadi pengurus anak ranting. Jadi saya dari bawah sekali, bisa dibilang dari bayilah," ucap Sanjaya, mengisahkan awal dirinya menjadi kader PDIP.
Ketika jadi pengurus anak ranting dirinya mulai bisa melihat perbedaan bagaimana dari segi memanage antara dunia properti dengan dunia politik.