Hari Raya Kuningan

3 Hal yang Perlu Diketahui Tentang Hari Raya Kuningan

Editor: Noviana Windri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah warga memanjat tumpukkan kayu yang membentuk formasi menyerupai gunung dalam tradisi mekotek yang dihelat saat merayakan Hari raya Kuningan di desa Munggu Kabupaten Badung. Sabtu (25/7/2015).(Tribun Bali/Rizal Fanany)

TRIBUN-BALI.COM - Sebagian orang mungkin mengira bahwa Hari Raya Kuningan berdekatan dengan perayaan Hari Suci Galungan.

Tak ayal terdapat sejumlah ucapan yang menggabungkan dua hari keagamaan tersebut, misalnya “Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan”.

Kendati demikian, ternyata Hari Raya Kuningan jatuh pada hari kesepuluh setelah Hari Suci Galungan berlangsung.

Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut Kompas.com himpun tiga hal yang perlu diketahui seputar Hari Raya Kuningan yang akan jatuh pada Sabtu 24 April 2021 mendatang:

Vaksinasi Setop Sementara di Bali, Saat Perayaan Galungan, Kuningan, Idul Fitri

Hari Raya Galungan-Kuningan, Ketua DPRD Buleleng Ingatkan Protokol Kesehatan

1. Dirayakan 10 hari setelah Hari Suci Galungan

Umat Hindu melaksanakan persembahyangan Hari Raya Galungan di Pura Agung Jagatnatha, Denpasar, Rabu 14 April 2021. Hari Raya Galungan merupakan perayaan kemenangan "Dharma" (kebenaran) melawan "Adharma" (kejahatan) yang diperingati dengan melakukan persembahyangan bersama di setiap pura di Bali. ((Tribun Bali/Rizal Fanany))

Hari Raya Kuningan dirayakan sepuluh hari setelah Hari Suci Galungan.

Jika tahun ini Hari Suci Galungan berlangsung pada 14 Februari 2021, maka Hari Raya Kuningan akan jatuh pada 24 April 2021.

“Jadi, katakanlah besok itu Galungan tanggal 16 September, maka berakhir perayaannya pada 26 September, yang disebut dengan Hari Raya Kuningan,” kata Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana I Gede Pitana saat dihubungi Kompas.com pada 15 September 2020.

10 Ekor Babi Milik Dek Lodek Hilang Dicuri Saat Hendak Dijual Saat Hari Raya Galungan-Kuningan

Lebih lanjut dia menjelaskan, meski dua hari keagamaan tersebut dirayakan pada hari yang berbeda namun Hari Raya Kuningan dan Hari Suci Galungan masih merupakan satu rangkaian upacara Hari Suci Galungan.

2. Hari saat para dewa dan leluhur kembali ke surga

Mepeed, Barisan Ibu-Ibu menuju Pura Desa dan Pura Puseh untuk Menghaturkan Banten. (dokumen tribun bali)

Dari segi filosofi, Hari Raya Kuningan memiliki perbedaan dari Hari Suci Galungan.

Sebab, Hari Raya Kuningan adalah hari untuk merayakan waktu para dewa dan leluhur kembali ke surga setelah bertemu keturunannya.

“Galungan itu dewa-dewa dan leluhur turun, semua atman-atman (roh) yang sudah suci akan turun dari surga menemui keturunannya di dunia,” jelas Pitana.

3. Dirayakan dengan sederhana

Sejumlah warga memanjat tumpukkan kayu yang membentuk formasi menyerupai gunung dalam tradisi mekotek yang digelar saat merayakan Hari Raya Kuningan di Desa Munggu Kabupaten Badung, Sabtu (15/4/2017). (Tribun Bali/Rizal Fanany)

Meski tetap dirayakan, namun perayaan Hari Raya Kuningan tidak dilakukan dengan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Sebab, puncak perayaan tetap pada Hari Suci Galungan.

Menurut Pitana, hal tersebut wajar digelar secara sederhana oleh umat Hindu di Bali atau di daerah lain.

“Kuningan itu kecil. Biasalah, seperti kita upacara di kantor, dibuka menteri, ditutup pak lurah, misalnya. Jadi pembukaannya besar, penutupannya sekadarnya saja,” ujar dia.

Walau dirayakan dengan sederhana, Hari Raya Kuningan tetap mempunyai tradisi yang dilakukan oleh umat Hindu.

10 Ekor Babi Milik Dek Lodek Hilang Dicuri Saat Hendak Dijual Saat Hari Raya Galungan-Kuningan

Menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan, Yayasan Harta Hanya Titipan Bagikan Bansos di Buleleng

Sebagai contoh, masyarakat di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung selalu merayakan Hari Raya Kuningan dengan menggelar tradisi Mekotek.

Diberitakan Kompas.com, Sabtu (20/2/2016), warga desa mengaku bangga memiliki tradisi leluhur yang sudah menjadi ikon pariwisata yang ditunggu-tunggu setiap enam bulan sekali.

“Ya setiap Kuningan pasti digelar tradisi ini. Saya bangga jadi masyarakat di sini yang memiliki tradisi leluhur ini,” kata seorang warga Desa Munggu bernama Kadek Arta.

Tradisi Mekotek identik dengan peralatan batangan kayu yang disiapkan oleh warga desa.

Nantinya, batangan kayu itu dijadikan sebagai sarana perang kayu atau Mekotek.

Kayu tersebut sudah dalam kondisi terkelupas kulitnya, dengan panjang sekitar 2-2,5 meter.

Mekotek digelar pada sore hari dan utamanya diikuti pria berusia 12-60 tahun.

Tongkat kayu yang dibawa akan diadu membentuk seperti piramid.

Para pria yang berpartisipasi akan mencoba adu nyali untuk naik ke puncak kumpulan kayu.

Berita Terkini