Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Wilayah Tampaksiring memang dikenal sebagai wilayah malukat.
Pasalnya sejak lama, Tirta Empul Tampaksiring sudah dikenal luas di dalam maupun luar negeri.
Tetapi tidak hanya itu saja, masih banyak lagi lokasi malukat di Tampaksiring. Seperti Pura Mangening, Pura Gunung Kawi, dan Pura Beji Campuhan Tampaksiring.
Kali ini Tribun Bali, akan khusus membahas Pura Beji Campuhan Tampaksiring, yang terletak di Jalan Pertiwi Brata, Tampaksiring, Gianyar.
Baca juga: Palinggih Ratu Gede Mas Mecaling di Pura Er Jeruk Gianyar Sebagai Perlindungan
Sejatinya pura ini terletak di bawah jembatan penghubung dua wilayah, yakni wilayah Gianyar dan Bangli.
Di bawah jembatan tersebut, dilalui oleh dua aliran sungai yakni sungai Pakerisan dan Soka.
Pertemuan dua sungai inilah yang disebut campuhan, dan terletak di sebuah arus di tengah sungai. Dalam Hindu di Bali, campuhan dipercaya sebagai air suci. Sehingga dimanapun terdapat campuhan, maka akan digunakan sebagai tempat malukat.
Baik itu pertemuan sungai dengan sungai, ataupun sungai dengan laut. Baik pertemuan dua aliran ataupun lebih.
Hanya saja, karena campuhan di lokasi ini arusnya cukup kuat. Maka disarankan yang tidak bisa berenang, bisa malukat di pinggirnya saja.
Ketut Sukanadi, guide atau pengayah di sana juga kerap mengawasi dengan rekan-rekannya.
“Dulu pernah ada yang terbawa arus, lalu saya cepat tolong,” katanya, Rabu 14 Juli 2021.
Jika airnya surut atau normal, maka kedalaman sungai di bagian campuhan tersebut adalah sekitar dada orang dewasa.
Namun apabila air pasang, maka sungai itu akan lebih dalam lagi. Dan tidak disarankan untuk turun malukat di area campuhannya.
Selain dialiri dua sungai, keunikan lainnya dari tempat malukat ini adalah pertemuan banyak air suci atau tirta.
Baca juga: Pemangku Pura Jagatnatha Denpasar Dilatih Membuat Eco Enzyme Agar Bisa Memanfaatkan Bekas Sesajen
Berdasarkan kisah yang didapatkan dari panglingsir setempat, disebutkan setidaknya ada 118 tirta atau air suci yang berkumpul di sungai ini.
“Campuhan di sini adalah pertemuan dari air suci di Tirta Empul, Pura Mangening, Pura Gunung Kawi, Taman Sari, Tirta Dedari, dan lain sebagainya. Alirannya bertemu di sini,” sebutnya.
Muara campuhan ini nantinya akan menyatu dengan air laut di pantai Masceti.
“Makanya di sini juga masyarakat nganyut (menghanyutkan abu pembakaran jenazah), karena muaranya langsung ke pantai,” imbuhnya.
Tempat suci ini sudah ada sejak lama, dan sungainya kerap dijadikan tempat mandi bagi warga sekitar. Namun kali ini, sebagai wisata spiritual, lokasi ini dikelola oleh Desa Adat Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.
Untuk itu, kini telah tersedia tempat parkir di sebrang tangga menuju lokasi malukat. Belum ada retribusi masuk, hanya masih disediakan kotak dana punia atau donasi seikhlasnya.
Sukanadi menyebutkan, apabila ingin tangkil bisa membawa empat buah pejati dengan beberapa canang sari.
Jangan lupa membawa pakaian ganti dan kain (kamen) serta selendang jika malukat.
“Nanti pejatinya dihaturkan di jeruan pura, di bawah beringin sebagai penanda gerbang, di patung Dewa Siwa yang ada di sungai, lalu di tirta pas di tengah campuhannya,” sebut pria berkulit sawo matang ini.
Namun apabila hanya membawa satu pejati, maka di palinggih lain bisa menghaturkan canang sari saja dengan rarapan.
Baca juga: Sejarah Pura Er Jeruk Gianyar, Tempat untuk Memohon Rezeki Hingga Keturunan
Tujuan menghaturkan banten dan canang ini, adalah meminta izin dan anugerah Dewa Siwa.
“Di sini tidak ada patokan, yang penting datang dengan niat tulus ikhlas memohon kepada beliau apa yang diinginkan,” katanya.
Sebab dari semua pamedek yang datang, ada yang meminta kesembuhan, rezeki, bahkan memohon diberikan keturunan.
Beberapa yang telah berhasil, datang terus menerus ke sana.
Kisah unik, adalah ketika seorang pamedek terkena bebai atau penyakit non medis.
“Biasanya kalau kena bebai, di campuhan dia akan teriak-teriak ketakutan atau kepanasan. Bahkan ada yang dari atas tangga saja sudah lari, tidak berani ke sungai,” ujarnya menceritakan.
Palinggih di sana adalah Dewa Siwa, yang memang bertugas sebagai pelebur alam semesta dan memberikan anugerah kepada umatnya. Bahkan ada, lanjut dia, yang kena bebai berputar seperti buaya di campuhan.
Pamedek yang datang ke lokasi biasanya ramai saat rahinan Kajeng Kliwon, Purnama, serta Tilem. Begitu juga saat Banyupinaruh, maka lokasi malukat ini akan sangat ramai dan padat oleh pamedek. Baik dari masyarakat lokal sekitar, maupun dari seluruh pelosok Bali dan bahkan luar Bali serta tamu asing.
Namun karena masih dalam kondisi pandemi, protokol kesehatan tentu tetap dijalankan di lokasi misalnya dengan menjaga jarak aman.
Banyak pula yang datang dengan orang pintar, khususnya tengah malam untuk mendapatkan hasil maksimal dan berdoa lebih khusyuk karena lebih sepi. Sebab sore hari, masyarakat yang mandi juga datang memadati lokasi.
“Namun karena lokasi di sini adalah karunia beliau, maka tanpa orang pintar pun biasanya penyakit non medis akan keluar sendiri,” jelasnya.
Ada seorang pamedek, kata dia, datang ke sana dan awalnya kerasukan karena pengaruh penyakit non medisnya.
“Waktu datang pertama kali, aura wajahnya gelap sekali. Namun lambat laun dia ke sini, semakin bersih dan bersinar,” ucapnya.
Orang itu pun mengaku juga lebih enak badannya, dan gangguan niskala berkurang.
Keunikan lainnya dari lokasi malukat ini, adalah adanya tirta klebutan atau air yang muncul dari dalam tanah.
Air ini berada di antara sungai dan di dekat aliran campuhan. Warnanya berbeda dengan air sungai, yakni lebih jernih.
“Tirta ini sudah ada sejak lama, namun baru disekat dengan semen sejak lima tahun lalu,” jelasnya. Tujuannya agar tidak bercampur dengan air sungai dan bisa diminum oleh pamedek. Dahulu sebelum disekat dengan semen, cara mengambil air tersebut adalah dengan disendok saja. Kala itu penyekat air agar tidak tercampur dengan air sungai adalah batu-batuan.
Bhatari yang malinggih di tirta tersebut bernama Dewi Tunjung Sekar Taji. Konon kepercayaannya adalah air klebutan itu memberi efek awet muda dan kesembuhan.
Karena air ini muncul dari tanah, maka ketika disemen, airnya naik ke atas dan terus meninggi.
Ada tiga pancoran untuk mengalirkan airnya, namun saat ini masih satu pancoran saja yang dibuka.
Kemudian untuk tatanan sembahyang dan malukat, ia menjelaskan bahwa pamedek harus memakai kain dan selendang. Lalu menghaturkan empat pejati di masing-masing palinggih.
Kalau tidak ada pejati bisa dengan canang sari. Setelah dihaturkan, lalu didoakan dan memohon agar diberikan anugerah oleh Dewa Siwa.
Setelah selesai, baru ke campuhan dan berendam sampai kepala tenggelam sebanyak tiga kali. Lalu ke pancoran yang klebutan dan membasuh wajah tiga kali, keramas tiga kali, dan minum tiga kali.
Setelah itu sungkem di depan patung Dewa Siwa yang di sungai sebanyak tiga kali. (*)
Artikel lainnya di Pura di Bali