Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Keberadaan pengamen dan gepeng (gelandangaan dan pengemis) di jalanan Kota Denpasar kerap menjadi sorotan publik.
Tak terkecuali ketika petugas Satpol PP menindak keberadaan mereka.
Baru-baru ini muncul fenomena pengamen berpakaian adat Bali, mengenakan udeng dan kamben di sejumlah ruas jalan di Denpasar.
Atas nama penegakan peraturan, para pengamen dan gepeng pun diangkut petugas Satpol PP Denpasar.
Kasatpol PP Kota Denpasar, I Dewa Gede Anom Sayoga mengatakan, pihaknya sudah berupaya menyalurkan beberapa pengamen maupun gepeng untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga maupun tukang kebun.
Namun mereka tidak betah dan memilih kembali ke jalan.
"Kami sempat salurkan jadi IRT, tapi malah minggat. Mereka malah lari dan kembali ke jalan," kata dia, Selasa (28 September 2021).
Terbaru, Satpol PP Kota Denpasar kembali mengamankan tiga orang pengamen mekakai udeng pada Selasa, 28 September 2021.
Ketiga pengamen tersebut masih dibawah umur. Mereka masing-masing NB (16), IMA (11), IKIW (15).
Ketiganya berasal dari Tianyar, Karangasem.
Anom Sayoga mengatakan, ketiga pengamen maudeng tersebut diamankan di simpang Jalan Gatot Subroto - Jalan Nangka.
Terkait keberadaan pengamen maudeng ini, pihaknya sempat melakukan koordinasi dengan tetua desa adat.
Namun mereka mengaku kesulitan memantau warganya.
"Katanya alasannya menjenguk keluarga sakit di Denpasar jadinya sulit melarang karena alasannya rasional," katanya.
Ia menyebut, fenomena mengamen dengan pakaian adat Bali tak hanya dilakukan oleh orang Bali.
Namun dirinya juga sempat mengamankan dua orang yang berasal dari Jawa.
"Kami dapat amankan dua orang menggunakan pakaian adat. Saat kami tanya asalnya dari Banyuwangi dan Situbondo," katanya.
Sayoga menambahkan, titik-titik yang sering dijadikan tempat mengamen maupun menggelandang yakni Simpang Pidada, Pesanggaran, perempatan Sanur, dan perempatan Tohpati.
Tadi pagi, selain mengamankan 3 pengamen memakai udeng, Satpol PP Denpasar juga mengamankan 4 pengemis dan gelandangan. Dua pengemis tersebut masih di bawah umur.
Terkait keberadaan pengemis dan gepeng di jalanan, sebelumnya Anom Sayoga mengaku pihaknya dilema.
Satu sisi pihaknya harus menegakkan Perda, namun di sisi lain pihaknya juga merasa kasihan dengan kondisi masyarakat di tengah pandemi.
“Kami hanya melaksanakan tugas sesuai peraturan. Kalau dari hati nurani pasti sama dengan yang lain merasa kasihan. Tapi kalau tidak diambil salah, kalau kami ambil juga salah, jadinya serba salah juga, ewuh pakewuh,” katanya.
“Kalau yang ngerti aturan pasti akan menyalahkan kami, kenapa dibiarkan ada yang mengganggu ketertiban, tapi setelah kami tangani kami juga dihujat. Akhirnya kami terima semua saja semuanya,” katanya.
Pihaknya menambahkan tak melarang jika ada masyarakat yang berinovasi, akan tetapi jangan sampai mengganggu kitertiban.
“Kami memahami kondisi masyarakat, dan kami tidak melarang ada warga yang berinovasi, tapi jangan di perempatan yang lalu lintasnya padat. Itu kan berbahaya dan mengganggu pengendara,” katanya.
Pengamen, Pakaian Adat, dan Modal Kultural
Seperti diketahui, belakangan muncul fenomena pengamen mengenakan pakaian adat Bali di sejumlah ruas jalan di Kota Denpasar
Mereka menggunakan kemben dan udeng serta membawa perangkat sound system kecil.
Para pengamen itu biasanya menyasar beberapa traffic light dengan lalulintas kendaraan yang padat seperti di perempatan Jalan Nangka–Jalan Gatot Subroto Denpasar, perempatan Tohpati hingga tempat keramaian seperti Pasar Sanglah.
Menurut Sosiolog dari Universitas Udayana (Unud) Gede Kamajaya, munculnya fenomena ini karena keterdesakan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Keadaan ini menyebabkan orang mulai merambah ke pekerjaan apa saja yang sekiranya bisa menghasilkan uang untuk bertahan hidup.
Bahkan mereka menambahkan embel-embel identitas Bali untuk menarik simpati masyarakat.
“Identitas ke-Bali-an menjadi modal kultural mereka untuk memperbesar peluang mendapatkan simpati dan tentu saja ini bisa menambah pendapatan,” kata Kamajaya, Minggu 26 September 2021.
Ia menambahkan pemerintah tak boleh diam melihat fenomena ini. Skema penyerapan tenaga kerja perlu dipersiapkan.
“Mulai dari skema jangka pendek, menengah dan jangka panjang perlu disiapkan biar masyarakat tetap bisa produktif dan berdaya,” imbuhnya.
Kamajaya mengatakan ada banyak sektor yang bisa digarap oleh pemerintah untuk menyerap tenaga kerja.
Satu di antaranya menggarap lahan Pemprov yang tidak produktif dan terbengkalai.
“Banyak sektor yang bisa digarap, lahan Pemprov banyak yang bisa digarap, yang tidak produktif dan terbengkalai misalnya. Bisa dimanfaatkan untuk digarap dengan menyerap tenaga kerja lokal dan gaji yang memadai,” katanya.
Ia menilai, langkah yang diambil pemerintah dengan cara mengamankan dan memulangkan pengamen ke daerah asal tidak efektif.
“Saya pikir ini tidak efektif karena mereka tidak memberi jalan keluar atas masalah yang mereka hadapi,” katanya. (*)