Berita Bali

Data LBH Bali Ungkap 42 Kasus Pelecehan Seksual Terjadi di Unud pada 2020

Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari
Editor: Wema Satya Dinata
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur LBH/YLBHI Bali Ni Kadek Vany Primaliraning

Laporan Wartawan Tribun Bali, Ni Luh Putu Wahyuni Sri Utami

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bali mencatat adanya kasus pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Udayana.

Direktur LBH/YLBHI Bali Ni Kadek Vany Primaliraning mengatakan awal mulanya menemukan kasus tersebut ketika pihaknya membuka posko pengaduan terkait korban kekerasan seksual.

"Jadi awalnya akhir tahun lalu 2020 dari LBH Bali terus dari kawan-kawan mahasiswa di Udayana buka posko pengaduan terkait dengan korban kekeras seksual. Jadi dari posko tersebut tidak harus kemudian korbannya minta advokasi ataupun tidak harus korban, bisa saja kemudian pihak ketiga itu yang kemudian lihat mungkin temannya atau kawannya yang lain yang mendapatkan kekerasan seksual," kata dia pada, Senin (22 November 2021).

Hingga dari data tersebut terakumulasi terdapat sebanyak 73 laporan.

Baca juga: Pelecehan Seksual Seperti Fenomena Gunung Es, Unud Bentuk Satgas Khusus Koneksi Langsung Kementerian

Dari 73 laporan tersebut kemudian dilakukan seleksi dan hasilnya 42 laporan merupakan korban kekerasan seksual.

Ia mengatakan data tersebut sudah pernah diserahkan ke Wakil Rektor 4 pada, 29 Desember 2020 lalu.

"Nah sebenarnya data ini sudah pernah kita kasi ke wakil Rektor 4 itu pada 29 Desember 2020. Dan tuntutannya sudah kita sampaikan bahwa sebenarnya korban itu kalau secara hukum kan memang minim ya, minim perlindungan.

Harapannya memang di laporan tersebut harapannya apa, terus harapannya yang jelas ada tindakan dari kampus terhadap pelaku, terus yang kedua paling banyak mereka menuntut adanya sistem perlindungan bagi korban kekerasan seksual di kampus," tambahnya.

Ia juga telah menyampaikan hal tersebut ke pihak Rektorat dan sudah mendorong agar terdapat agreement antara kawan-kawan mahasiswa dengan pihak Rektorat.

Namun waktu itu ditolak, mereka tidak mau menandatangani agreement. Mereka mengatakan akan melakukan diskusi, lalu menyelesaikan pelaporan kasus.

"Hanya itu saja yang disanggupi oleh mereka, tapi kemudian data yang besar ini, terus yang mendorong sistem itu, sebenarnya ada dua ya, advokasi kasus sama advokasi by data ini, nah by data ini kemudian tidak diindahkan atau tidak dihiraukan sebagai suatu hal yang urgent juga gitu.

Jadi kemudian tidak tersepakatilah kemudian bagaimana konsesiten dari pihak kampus untuk membuat semacam sistem perlindungan di sana, tidak selesai gitu," paparnya.

Dan hingga saat ini pun ia mengatakan masih belum menemukan kejelasan terkait dengan sistem penyelesaian kasus yang pernah dibawa ke Rektorat.

Termasuk juga dengan data ini, yang ingin sampaikan itu juga tidak jelas sistemnya, dalam artian tidak jelas apakah akan dibentuk sistem perlindungannya padahal datanya juga lumayan banyak.

Baca juga: Kasus Pelecehan Seksual Diungkap dengan Survei, Rektor Unud Ambil Langkah Hukum jika Tak Terbukti

"Nah ini gambaran dan hari ini, kita juga dengan pergantian rektor terus kemudian juga ada Permendikbud, nah ini juga menjadi gambaran gitu apakah kemudian Udayana kemudian akan mengambil sikap serius terhadap pelaku kekerasan seksual itu dilatarbelakangi dengan data data bahwa Unud punya catatan seperti itu atau kemudian ini hanya desakan akreditasi dalam kaitannya Permendikbud tersebut," sebutnya.

Sementara itu, Akreditasi untuk mengubah sistem, menurutnya kalau itu hanya sekadar sebuah sistem saja. Ini akan menjadi bermasalah karena kemudian ini sistem yang dibikin tidak melindungi korban, tapi hanya sekadar formalitas.

Sebenarnya data itu dalam advokasi LBH dan bisa dikatakan penting. Dalam artian kekuatan data itu kan untuk mendorong adanya sistem yang berubah.

"Kita bilang kekerasan seksual, itu di kampus. Nah itu kita tidak bisa tutup mata, itu dari tahun ke tahun seperti itu, tapi kemudian tidak ada perubahan, tidak ada sistem yang diubah gitu. Nah itu kan one by one, satu orang, satu orang, jadi kesannya tidak ada kepedulian, nah kalau memang sistem nah itu bukan lagi kepedulian, bukan lagi kemudian berjuang sendiri tapi kemudian ada perlindungan yang jelas yang dibikin pihak kampus untuk melindungi korban tersebut," jelasnya.

Sebenarnya ini menarik ketika data, sudah ada sejak awal dan ini juga sempat terpublikasi tapi kemudian tidak ditindaklanjuti secara serius dan menurutnya, kebetulan ada momentum yakni terbitnya Permendikbud yang kemudian ini harus menjadi alasan serius bagi pihak kampus termasuk untuk membuat sistem perlindungan kekerasan seksual di kampus.

"Tapi kemudian ini tidak menjadi asal-asalan dan kemudian ini bisa menjadi bisa secara serius dengan melibatkan banyak pihak banyak sektor yang kemudian memang di pendampingan kasus-kasus kekerasan seksual sehingga ini tidak menjadi formalitas.

Kemudian terkait dengan pendamping kasus kekerasan seksual yang diterima LBH sebenarnya tidak hanya di Unud, tapi di kampus-kampus lain juga ada," terangnya.

Unud Bentuk Tim Satgas Khusus

Tangani kasus pelecehan seksual yang meresahkan masyarakat, Universitas Udayana (Unud) akan segera bentuk Tim Satgas Khusus.

Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, menerangkan bagaimana nantinya kinerja dari Tim Satgas tersebut.

"Ya (akan jadi wadah perlindungan), jadi pertama ia mensosialisasikan bahwa akan ada sanksi berat bagi pelaku supaya dia berpikir dan menghindari hal-hal tersebut. Kedua dia akan mendorong korban ini agar mau melapor. Ketiga memberikan pendampingan kemudian keempat tentu mengawali proses hukum dan melakukan pelaporan-pelaporan kepada unit-unit yang perlu dilaporkan," sebutnya pada, Senin (22 November 2021).

Sementara untuk memastikan tim satgas khusus ini bersifat independen, Prof. Antara mengatakan akan dibuatkan panitia seleksi (pansel) sesuai dengan amanat Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.

Baca juga: Terkait Kasus Pelecehan Seksual di Unud, Rektor Prof. Antara Buka Suara 

Nantinya pansel ini akan menyeleksi orang-orang yang layak duduk di satgas.

Tentu pertimbangannya independensi calon menjadi pertimbangan utama. Tidak tergantung pada Dekan maupun Rektor.

"Sehingga dia bisa melakukan kegiatannya dengan tidak tergantung dengan siapapun atau bebas. Kalau pansel sudah ada melakukan seleksi pada satgas, selanjutnya ada pelatihan-pelatihan sesuai tugasnya sehingga saya berharap banyak satgas mampu menciptakan keamanan dari kekerasan seksual," imbuhnya.

Jadi ketika satgas sudah terbentuk dia akan bekerja sesuai dengan konteks pencegahan.

Pencegahan itu salah satunya dengan melarang untuk melakukan kegiatan akademik di luar kampus dan di luar jam kantor. Dan intinya korban juga berani melapor jika mengalami tindak pelecehan seksual.

"Kalau tidak dibantu dengan keberanian dari korban untuk melapor kita akan memelihara predator-predator di kampus. Maka dari itu siapapun korbannya melalui saluran-saluran yang akan dibuat oleh satgas mudah-mudahan bisa segera dideteksi mana kala ada kejadian-kejadian sehingga kami bisa sesegera mungkin menindaklanjuti untuk mencegah hal-hal lebih parah lagi," sambungnya.

Dan fenomena ini memang mungkin bisa dikatakan seperti gunung es dan hampir seluruh di Indonesia terjadi hal-hal sedemikian rupa. Dan itu tidak penting, yang penting bagaimana kedepannya pihak kampus mencegah supaya tidak ada lagi korban.

"Jadi kami akan melakukan apapun sehingga nanti kampus universitas Udayana steril dari kasus-kasus kekerasan seksual. Jadi tolong bantu mari kita bekerjasama saya sudah berkoordinasi dengan mahasiswa. Karena mahasiswa akan menjadi unsur utama dalam satgas," paparnya.

Jadi tim satgas khusus ini akan terdiri dari dosen, mahasiswa, dan pegawai dimana termasuk dalam tiga unsur yang bersifat representatif. Dan satgas ini nantinya akan memiliki akses langsung ke Kementerian.

Jadi jika ada pimpinan di Unud menutup-nutupi atau berusaha menyelesaikan permasalahan pelecehan seksual dengan kekeluargaan atau dengan cara di luar jalur satgas, nantinya satgas bisa langsung melapor ke kementerian. Sehingga kementerian bisa langsung mengambil alih kasus ini.

Sedangkan berkaca pada penanganan kasus pelecehan di kampus lain, dimana satgas dibentuk dari luar dan dalam Kampus, Prof. Antara menyebutkan sesuai dengan amanat Permendikbud pihaknya tidak mempunyai kewenangan untuk menugaskan orang-orang di luar dari kampus.

"Itu adalah tim yang sangat representatif melibatkan civitas akademika baik dosen, pegawai mahasiswa jadi tidak diamanatkan untuk melibatkan organisasi luar kampus. Karena ini lingkungan kampus bukan peraturan untuk mengatur semua publik PPKS ini adalah khusus untuk lingkungan kampus," tutupnya. (*)

Artikel lainnya di Berita Bali

Berita Terkini