Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Terjadinya beberapa fenomena ‘kecelakaan’ saat menari tarian sakral di Bali, tentunya menjadi pelajaran penting dalam seni dan budaya Bali. Kecelakaan tersebut seperti ada yang tertusuk, saat menarikan rangda hingga berakibat fatal meninggal dunia.
Hal ini sontak menjadi perhatian semua pihak, tak terkecuali praktisi seni budaya, Komang Gases.
Dosen FKIP UPMI ini, menegaskan seorang penari apalagi penari tarian sakral harus paham pakem dan tetuek.
Dalam kamus besar Bahasa Bali-Indonesia, tetuek adalah tujuan atau maksud. Sehingga tatkala pentas, semuanya berjalan lancar sesuai dengan tujuan dari tarian itu sendiri.
“Masalah penari rangda yang tembus, tukang ngurek tembus, dan lain sebagainya. Itu sebenarnya disebabkan karena kurangnya pemahaman akan tarian sakral itu sendiri,” jelas pria dengan nama asli Dr. Komang Indra Wirawan ini, dalam program bincang Tribun Bali, bertajuk Bali Sekala-Niskala.
Baca juga: Buka Acara UMKM dan Ekraf, Ketua Kadin : KADIN Indonesia Siapkan Program Bangkitkan UMKM
Komang Gases mengingatkan, penari khususnya penari tarian sakral harus paham tupoksinya.
Tidak serta merta menari begitu saja, tanpa ada bekal yang mumpuni. Baik bekal secara sekala maupun bekal secara niskala.
“Pada saat kita melihat ada fenomena rangda tembus, bukan berarti rangda ini tidak sakti atau siddhi. Sepatutnya si pengayah (penari) tahu akan tupoksinya. Supaya kejadian kecelakaan tidak terjadi,” tegasnya.
Baca juga: Vaksin Booster Covid-19 Masih Dikaji Pemerintah, Menkes: Kurang Lebih di Bawah Rp300 Ribu
Tak dapat dipungkiri, kecelakaan saat menari bahkan hingga meregang nyawa akan pula menggiring pro dan kontra di tengah masyarakat.
Sehingga membuat peluang bias, yang menyebabkan berkurangnya keyakinan masyarakat terhadap apa yang dipujanya.
Mengingat rangda dan barong, selain sebagai tarian hiburan juga merupakan bentuk sesuhunan di berbagai wilayah di Bali yang sangat disakralkan.
Kolektor puluhan rangda dan barong ini, menjelaskan bahwa konsep rwa binedha yang dikenal selama ini harus benar-benar dipahami.
Bahwa hitam dan putih, baik dan buruk, merupakan sesuatu yang tidak bisa lepas dari keseharian umat Hindu dan seluruh makhluk hidup di alam semesta.
Begitu pula dengan kecelakaan saat menari tarian sakral, tentunya terjadi bukan tanpa alasan.
Ia mengingatkan, selama pakem dan tetuek dipahami akan mampu meminimalisir terjadinya kecelakaan itu.
Baca juga: BPKP Gelar Klarifikasi Kasus Pengadaan Masker di Dinas Sosial
“Supaya tidak seolah-olah kita menyalahkan tarian rangda atau tari sakral lainnya, padahal kesalahan itu ada pada penari tersebut,” tegasnya.
Ibarat seorang supir kendaraan bermotor, tatkala ia tidak paham aturan dan tidak memiliki legalitas.
Maka saat terjadi kecelakaan, maka dirinya lah yang disalahkan.
“Sama pada tarian sakral, jadi penari itu pun harus punya izin sebelum menari, izin sekala-niskala,” imbuhnya.
Izin sekala, bahwa penari itu harus bisa menari dan paham pakem tarian sakral.
Izin niskala, penari itu harus mawinten atau mabersih, membersihkan dirinya sehingga pantas menarikan tarian sakral.
Oleh karena itu, penari dari tarian yang disakralkan harus melewati proses mawinten, mabersih, dan tahu tattwa tarian rangda.
“Yang terjadi selama ini, adalah kurangnya pemahaman. Sehingga bias dan akhirnya ada yang tembus saat ngurek,” jelasnya. Padahal secara sederhana, prinsip juru solah rangda minimal mengikuti tattwa, susila dan upacara.
Baca juga: Presiden Jokowi Hadiri Peluncuran Peta Jalan Ekonomi Kerthi, Sebut Ada 3 Hal yang Jadi Perhatian
“Tattwa itu, jadi bagaimana tetueknya. Kemudian etika sebagai penari rangda, dan tentunya upacara yang harus dilewati sebelum menari. Dengan proses minimal mawinten, mabersih, dan paham pakem,” tambahnya.
Tatkala ini semua dijalankan, maka tarian akan berjalan rahayu.
Harus pula dibedakan, apakah tarian rangda yang ditarikan merupakan tarian sakral atau tarian profan (hiburan).
Komang Gases menjelaskan, secara umum tarian di Bali dibagi menjadi tiga.
Diantaranya tari wali, bebali, dan balih-balihan. Namun secara luas, masyarakat mengenal tarian itu dibagi menjadi dua yakni tarian sakral dan tarian profan (non sakral).
“Nah ketika sebuah rangda itu telah melewati proses, maurip-urip, pasupati, dan diproses ritual secara sakral dengan upakara. Maka bisa dinyatakan bahwa rangda atau barong tersebut sakral dan pingit (disucikan),” tegasnya.
Tetapi ketika sebuah barong atau rangda hanya diprayascita, dan digunakan untuk hal yang bersifat profan atau hiburan semata.
Hanya untuk balih-balihan, maka rangda atau barong tersebut bisa ditarikan oleh siapa saja yang bisa menarikannya.
“Minimal bisa masolah atau menari lah,” katanya.
Jadi ke depan, ia sangat konsen untuk mengimbau masyarakat Bali agar memahami hal ini dengan sangat baik. Sehingga tidak terjadi kecelakaan lagi saat menari tarian rangda atau barong.
Secara spesifik, Komang Gases menjelaskan bahwa rangda dan barong adalah simbol rwa binedha atau dualitas di dunia ini.
Namun jangan dilihat secara sederhana, hanya pada baik dan buruk saja.
Sebab kedua hal tersebut saling melengkapi dan menyeimbangkan alam semesta.
Dalam pementasan tarian rangda dan barong, kerap digambarkan bahwa rangda adalah simbol Adharma dan barong adalah simbol Dharma.
“Kedua hal ini merupakan bagian dari dunia yang tidak dapat dipisahkan, dan menyatu untuk menyeimbangkannya,” sebut Komang Gases. Nilai harmonisasi tersebut yang harus dipahami oleh masyarakat. Sehingga barong dan rangda, yang merupakan iconnya Bali bisa terus lestari dan dipelajari oleh generasi penerus. Sebagai warisan seni budaya yang adiluhung. (ask)