"Apa urgensinya? Kalau memang PMK ini sangat berbahaya sampai mengakibatkan sapi mati, mungkin kami bersedia dipotong bersyarat, dari pada mati kena penyakit. Masalahnya kan semua sapi yang sempat mengalami gejala PMK nyatanya masih hidup semua. Kami berjuang menyembuhkan sapi-sapi kami dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar sendiri," katanya di hadapan Satgas Penanganan PMK Buleleng.
Selain menolak dipotong bersyarat, Muliada juga menolak sapi-sapinya itu menjalani tes PCR.
Sebab apabila di tes, maka hasilnya, sebut Muliada, akan tetap positif PMK.
Pasalnya, penyakit tersebut akan tetap berada di tubuh sapi hingga dua tahun.
"Kalau di tes pasti positif, karena PMK itu terus ada di tubuh sapi selama dua tahun meski sudah tidak bergejala,"
Selain Muliada, peternak yang juga menolak sapinya di potong bersyarat adalah I Komang Adi Wirawan.
Pria yang juga sebagai Perbekel Desa Tinga-Tinga, Kecamatan Gerokgak ini memiliki lima ekor sapi betina.
Seluruh sapinya sempat mengalami gejala PMK berupa mulut berbusa dan hidung lecet, sekitar 20 hari yang lalu.
Sapinya itu juga langsung disuntikan obat antibiotik yang dibeli dari salah satu dokter hewan.
Sementara kandangnya juga disemprot dengan cairan ecoenzim.
Obat antibiotik itu rupanya mujarab. Seluruh sapinya sembuh, setelah tujuh hari diberi obat.
Wirawan pun menyatakan menolak jika sapi-sapinya harus dipotong bersyarat, kendati biaya ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah lima kali lipat dari harga sapi di pasaran.
Sebab ia menyebut, memelihara sapi induk bukan hanya untuk mencari keuntungan.
Namun ia juga ingin menjaga populasi sapi.
"Sapi saya sampai bisa melahirkan, dan menyusui secara normal. Tidak ada yang mati. Artinya kan potensi untuk sembuh itu ada. Risiko kematiannya kecil. Total sapi yang terindikasi PMK di Tinga-Tinga ada tujuh ekor, semua sudah sembuh. Lain cerita kalau PMK ini tidak bisa disembuhkan, pemerintah tidak perlu memaksa kami untuk potong bersyarat. Kami yang akan melakukannya sendiri," ujarnya.