Dirga menegaskan, bahwa pengelolaan parkir itu hanya boleh oleh pemerintah. Nah, melibatkan desa adat itu atau pihak ketiga itu boleh sebagai bentuk kerjasama. Dan itulah yang harus ditekankan dan sosialisasikan, bahwa adat atau pihak ketiga itu bagian dari Pemerintah. Jangan sampai, bahwa itu menjadi bagian yang terpisah.
“Jadi catatan kami, untuk selanjutnya menunggu sosialisasi Perda inisiatif dan desa presisi dan dilakukan ada sosialisasi di dewan, akan kami lakukan di masing Kecamatan. Dna di sanalah APH akan berbicara supaya tidak ada sandungan hukum,” bebernya.
Asisten 2 Setda Tabanan, I Wayan Kotio menjelaskan, untuk regulasi sepanjang jalan di tepi jalan umum semestinya tidak ada hak adat. Dinas perhubungan sudah mencoba namun berbenturan dengan adat. Bahkan untuk retribusi parkir pihaknya mengaku kesulitan SDM. Misalnya saja, untuk rolling sudah dilakukan dari tempat A ke B, namun yang bersangkutan atau pekerja tidak mau. “Jangankan roling, tukar shift pun mereka tidak mau. Sehingga kemungkinan kebocoran ya pasti ada, sementara pelan pelan menata kebocoran disamping menambah potensi yang telah kita targetkan,” paparnya.
Sekretaris Dinas Perhubungan Tabanan, Ni Luh Putu Mahadi Santi Dewi mengungkapkan, bahwa ada 21 titik di tepi jalan umum dan 10 tempat khusus parkir sebagai potensi retribusi. Kemudian dari rekomendasi dewan total ada 9 potensi retribusi parkir, namun baru 7 titik yang bisa di SK kan sesuai perbup. Untuk dua lainnya, belum dapat di SK kan lantaran masih menjadi kewenangan pusat. Pendek kata, belum dihibahkan ke pemerintah daerah.
“Itu seperti di areal dermaga di Ulundanu beratan. Yang dari tujuh yang sudah ber SK, enam diantaranya sudah dipungut sesuai amanat perbup, sedangkan 1 titik belum lantaran masih menunggu keputusan dari adat, yang masih melakukan rapat,” ujarnya. (ang).