Selain itu juga menunjukkan rasa kasih pada semua makhluk.
Sehingga pada hari itu, sepatutnya melakukan peleburan bencana, dan merawat dari diri segala kecemaran.
Kecemaran ini utamanya kecemaran pikiran yang melekat pada diri.
Caranya yaitu dengan jalan melakukan renungan suci.
Karena dalam keadaan yang demikian, Sang Hyang Ludra melakukan yoga, yang bertujuan memusnahkan kecemaran dunia.
Adapun sarana upakara yang dipersembahkan yaitu wangi-wangi, dupa astangi, dan dilanjutkan dengan matirtha pembersihan.
10 September 2022, Purnama Katiga
Pada 10 September 2022, adalah rahinan Purnama Katiga.
Purnama ini jatuh pada bulan ketiga dalam sistem kalender Bali.
Hari raya purnama ini diperingati sebulan sekali yaitu saat bulan penuh atau sukla paksa.
Dalam lontar Sundarigama dikatakan bahwa purnama merupakan payogan Sang Hyang Candra.
Terkait purnama ini disebutkan:
Mwah hana pareresiknira sang hyang rwa bhineda, makadi sang hyang surya candra, yatika nengken purnama mwang tilem, ring purnama sang hyang ulan mayoga, yan ring tilem sang hyang surya mayoga.
Artinya:
Ada lagi hari penyucian diri bagi Dewa Matahari dan Dewa Bulan yang juga disebut Sang Hyang Rwa Bhineda, yaitu saat tilem dan purnama.
Saat purnama adalah payogan Sang Hyang Wulan (Candra), sedangkan saat tilem Sang Hyang Surya yang beryoga.
Lebih lanjut dalam lontar Sundarigama disebutkan:
Samana ika sang purohita, tkeng janma pada sakawanganya, wnang mahening ajnana, aturakna wangi-wangi, canang nyasa maring sarwa dewa, pamalakunya, ring sanggat parhyangan, laju matirta gocara, puspa wangi.
Purnama juga merupakan hari penyucian diri lahir batin.
Oleh karena itu semua orang wajib melakukan penyucian diri secara lahir batin dengan mempersembahkan sesajen berupa canang wangi-wangi.
Kemudian canang yasa kepada para dewa, dan pemujaan dilakukan di sanggah dan parahyangan, yang kemudian dilanjutkan dengan memohon air suci.
16 September 2022, Kajeng Kliwon Uwudan
21 September 2022, Buda Kliwon Ugu
25 September 2022, Tilem Katiga
Tilem sendiri diyakini merupakan satu diantara hari suci dan sakral di Bali.
Umat Hindu biasanya melakukan persembahyangan saat rahinan tilem ini.
Dalam kitab Sundarigama, diyakini tilem sebagai waktu sakral karena merupakan waktu peralihan dari paroh gelap dan awal dari paroh terang.
Pada saat Ttilem, diyakini Dewa Matahari beryoga.
Biasanya dalam Hindu dikenal dengan sebutan Bhatara Surya.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan, bahwa saat tilem ini merupakan waktu yang baik untuk melebur segala bentuk noda.
Melebur kotoran, kepapaan, penderitaan dan bencana yang menimpa diri manusia.
Sehingga banyak yang malukat saat ini.
Baik malukat ke pantai, campuhan, sungai, hingga ke pura-pura.
Sehingga memeroleh keheningan pikiran dan kesehatan lahir batin.
Disebutkan bahwa malam gelap atau tilem, berkaitan dengan malam penuh duka setelah pertempuran dahsyat.
Kisah ini salah satunya dari Panca Pandawa.
Dikisahkan bahwa Pandawa meninggalkan perkemahan mereka untuk mencari penyucian, dengan mengunjungi tempat-tempat keramat. Sekitar pukul tiga dini hari, terjadi pertanda tidak baik.
Dan tidak lama kemudian seorang bintara datang membawa berita duka tentang anak-anak laki-laki Pandawa.
Atau Sang Panca Kumara beserta saudara laki-lakinya. Yang ditinggalkannya di perkemahan dan meninggal dunia.
Sehingga malam gelap itu, menjadi malam penuh duka dan maut.
Kisah peristiwa dalam Kakawin Bharatayudha ini, membuat tilem merupakan waktu sakral dan sekaligus rawan.
Karena itu saat tilem, umat Hindu diharapkan melakukan persembahyangan di sanggah, pura, atau di atas tempat tidur.
Dengan mempersembahkan sesajen berupa sasayut widyadhari.
Kemudian melakukan yoga pada malam hari. Ada kemungkinan sasayut widyadhari ini, merupakan simbol pengetahuan, keahlian atau simbol widya.
Dalam Alih Aksara Alih Bahasa dan Kajian Lontar Sundarigama dijelaskan makna sembahyang saat tilem adalah untuk memohon pengetahuan dan ketrampilan dalam segala pekerjaan.
Disamping sebagai wujud peruwatan kepapaan, noda, kegelapan dan segala penderitaan. (*)