Klarifikasi Kepsek SMPN 5 Denpasar Didemo Usai Kebijakannya Dinilai Diktaktor: Melanjutkan yang Lama
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Kepala Sekolah SMPN 5 Denpasar, Putu Eka Juliana Jaya memberikan klarifikasi terkait dengan aksi demo yang dilakukan siswanya meminta dirinya mundur dari jabatan kepala sekolah.
Adapun aksi demo tersebut dilakukan siswa dari kelas VII hingga IX SMPN 5 Denpasar pada Kamis 20 Oktober 2022.
Alasan siswa meminta Putu Eka Juliana Jaya turut dari jabatannya sebagai kepala sekolah karena kebijakannya dinilai terlalu otoriter.
Terkait hal tersebut, Kepala Sekolah SMPN 5 Denpasar, Putu Eka Juliana Jaya memberikan klarifikasi terkait demo dimintanya ia turun dari jabatan sebagai Kepala Sekolah.
Dari data yang diterima Tribun-Bali.com, adapun Eka Juliana menulis klarifikasi dalam bentuk soft copy pada Jumat 21 Oktober 2022.
Ia menerangkan jika terkait dengan kebijakan yang disebut diktator, menurutnya, telah sesuai dengan arahan pimpinan disdikpora.
Baca juga: Alasan Siswa SMPN 5 Denpasar Demo Kepsek Menurut Guru: Sistem Kepala Sekolah Terlalu Diktator
“Sesuai arahan Pimpinan di Disdikpora, bahwa dalam tahap awal melaksanakan tugas tambahan selaku Kepala SMPN 5 Denpasar kami melakukan konsolidasi, adaptasi, dan pemetaan situasi kondisi dan kebutuhan yang memerlukan atensi segera,” tulisnya.
Selain itu, ia pun mengatakan jika tidak ada kebijakan baru yang dibuat, terbatas hanya melanjutkan kebijakan lama yang sudah ada.
Kemudian, Eka Juliana yang sering disapa Wawa itu pun mengungkapkan jika telah menerapkan 5S (Senyum, Sapa, Salam, Sopan dan Santun) kepada warga SMPN 5 Denpasar.
“Penerapan 5S (Senyum Sapa Salam Sopan Santun) dalam menyambut siswa/i dan guru/pegawai rutin dilakukan, dengan melakukan sikap dan ucapan “Om Swastyastu”,” jelasnya.
Kebijakan Kepsek SMPN5 Denpasar Disebut Diktaktor
Sebelumnya, dikutip dari Antara, salah seorang guru SMPN 5 Denpasar mengatakan bahwa para siswa menuntut untuk mengganti kepala sekolah bernama Putu Eka Juliana Jaya itu karena tak setuju dengan kebijakan yang dibuat.
"Sistem ibu (kepala sekolah) terlalu diktator. Kami sebagai guru kan kapasitas melayani siswa bukan sebagai pembantu di sekolah. Tapi, kami selama ini mengambil sesuatu yang bukan tupoksi kami, kami mengepel setiap hari," ujarnya.
Terkait dengan kebijakan yang bersinggungan langsung dengan siswa, ia mencontohkan kejadian saat ratusan siswa dijejerkan di depan sekolah karena dilarang masuk.