TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Malam Siwaratri dijelaskan sebagai malam paling gelap diantara malam-malam lain menjelang Tilem Kapitu.
Pada malam ini dikatakan pula sebagai malam terbaik untuk melakukan persembahyangan, khususnya di tengah malam.
Inilah yang diutarakan Dr. Drs. Ida Bagus Suatama, M.Si selaku pemangku atau pinandita di Pura Maha Widya Mandira UNHI.
“Di tengah malam ini, bio-bio magnetik atau gelombang alam semesta sangat tenang. Maka dari itu meditasi atau sembahyang memang sebaiknya tengah malam di saat alam semesta tenang,” kata Dr. Drs. Ida Bagus Suatama, M.Si.
Baca juga: Hari Raya Siwaratri di Bali, BPBD Gianyar Minta Masyarakat Waspadai Pantai
Pada rangkaian Hari Suci Siwaratri di UNHI, lelaki yang akrab disapa Tu Aji ini mendapat tugas sebagai penganteb banten sesi kedua, yaitu tengah malam.
Di sela-sela perannya sebagai pemimpin upacara, Tu Aji menjelaskan, Siwaratri juga merupakan momen tahun baru menurut kalender Bali.
Namun, pergantiannya bukanlah pada pukul 00.00 Wita melainkan pada pukul 04.45 Wita esok harinya, 21 Januari 2023.
Tu Aji menjelaskan, bersembahyang atau bersemedi pada malam Siwaratri bagaikan masuk dalam teropong bintang yang sangat dalam.
Tetapi saat itulah, manusia bisa melihat bintang yang berkedip di langit nan jauh dengan sangat jelas.
Sama seperti bersembahyang pada malam Siwaratri yang membuat umat manusia dapat melihat percikan kecil yang disebut Siwatman.
Siwatman inilah yang berhubungan dengan Siwaratri dan letaknya ada di dalam hati nurani umat manusia.
Dekan Fakultas Kesehatan Ayurweda UNHI menjelaskan, pada malam Siwaratri umat manusia menyatukan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Pada saat itulah manusia perlu memohon perubahan-perubahan yang drastis menjadi lebih sehat, sejahtera, dan cerdas.
Permohonan yang perlu dihaturkan adalah adanya kebangkitan secara sekala dan niskala.
Karena memuja Dewa Shiva, mantra-mantra yang dihaturkan pada malam Siwaratri adalah puja Siwa Puja.