Budaya

Kembalikan Spirit Ngayah Lewat Seni Tari Topeng, Berikut Kisah Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr. Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa (SLP), akademisi kelahiran Singaraja, 11 Juli 1974 ini tidak saja konsen dalam memajukan dunia pendidikan. Namun ia juga sangat peduli dengan seni dan budaya Bali, khususnya seni tari topeng sakral. Melalui kegiatan 'nopeng' (menari Topeng Sidakarya) yang sering dilakukannya, ia mengaku ingin mengembalikan konsep ngayah (pelayanan tanpa imbalan) ke makna yang sebenarnya. Yakni ngayah dengan tulus dan ikhlas tanpa adanya unsur komersial atau mencari keuntungan.

TRIBUN-BALI.COM - Dr. Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa (SLP), akademisi kelahiran Singaraja, 11 Juli 1974 ini tidak saja konsen dalam memajukan dunia pendidikan.

Namun ia juga sangat peduli dengan seni dan budaya Bali, khususnya seni tari topeng sakral.

Melalui kegiatan 'nopeng' (menari Topeng Sidakarya) yang sering dilakukannya, ia mengaku ingin mengembalikan konsep "ngayah" (pelayanan tanpa imbalan) ke makna yang sebenarnya.

Yakni ngayah dengan tulus dan ikhlas tanpa adanya unsur komersial atau mencari keuntungan.

Baca juga: Kade Yuliawan Apresiasi Dalang Milenial dan Support Para Seniman di Tabanan

Baca juga: Rektor Unud Kembali Mangkir Dipanggil Soal Kasus Dugaan Korupsi SPI Mandiri Unud

Dr. Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa (SLP), akademisi kelahiran Singaraja, 11 Juli 1974 ini tidak saja konsen dalam memajukan dunia pendidikan. Namun ia juga sangat peduli dengan seni dan budaya Bali, khususnya seni tari topeng sakral. Melalui kegiatan 'nopeng' (menari Topeng Sidakarya) yang sering dilakukannya, ia mengaku ingin mengembalikan konsep "ngayah" (pelayanan tanpa imbalan) ke makna yang sebenarnya. Yakni ngayah dengan tulus dan ikhlas tanpa adanya unsur komersial atau mencari keuntungan. (Istimewa)


"Pada prinsipnya, yang tertanam dalam jiwa saya, karena yang saya lihat dan diajarkan kepada saya sejak kecil adalah, ngayah itu adalah panggilan jiwa sehingga dilakukan dengan tulus dan ikhlas tanpa adanya paksaan. Meskipun dalam pelaksanaannya sering kali saya lihat para tetua-tetua ini tidak menerima bayaran uang, tapi tetap dilakukan dengan tulus," jelasnya.


Namun seiring perkembangan zaman, pria yang akrab dipanggil Lanang ini mengakui jika konsep ngayah mulai bergeser makna. Dari sebelumnya ngayah dilakukan sukarela untuk kepuasan jiwa, berubah konsepnya menjadi sesuatu yang bersifat komersial.


"Atau dalam bahasa sekarang dikenal dengan istilah 'Ngayah Mebayah' (pelayanan yang dibayar). Jujur saya sangat sedih dengan fenomena ini, sehingga saya terketuk untuk mengembalikan konsep ngayah ke pengertian aslinya," urainya.


Lantas bagaimana caranya bisa tetap bertahan hidup jika aktivitas ngayah tidak bersifat komersial.

Menurutnya, ngayah pada dasarnya tidak akan membuat seseorang menjadi miskin. Karena konsep ngayah itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari tradisi kehidupan agraris masyarakat Bali yang sudah dilakukan sejak dahulu.


Dalam tradisi kehidupan agraris, aktivitas mencari nafkah dilakukan pada pagi hingga matahari terbenam, dan setelah itu barulah kegiatan ngayah dilakukan baik itu berupa latihan seni budaya seperti menari, megambel, dan makekawin dilakukan pada malam hari.


Termasuk juga aktivitas 'ngodalin' atau upacara agama pada masa lalu dilakukan pada malam hari, sehingga tidak menganggu aktivitas mereka dalam mencari nafkah. Hingga saat ini konsep ngayah masih tetap relevan untuk dilakukan.

Dr. Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa (SLP), akademisi kelahiran Singaraja, 11 Juli 1974 ini tidak saja konsen dalam memajukan dunia pendidikan. Tapi juga seni tari topeng. (Istimewa)


"Contohnya aktivitas nopeng yang saya lakukan ini, saya benar-benar melakukannya dengan konsep ngayah. Karena hal ini adalah panggilan jiwa saya, sehingga kepuasan yang saya dapatkan adalah kepuasan jiwa," ungkapnya.


Ngayah sebagai penari Topeng Sidakarya, diakuinya juga tidak terlepas dari pengalaman pribadinya yang pernah sangat kesulitan mencari penari Topeng Sidakarya ketika ia menyelenggarakan upacara agama di rumahnya.


"Waktu itu saya ingat, ada satu seniman topeng di desa saya, namun sayang jadwal beliau sangat padat. Kalau mau menggunakan jasa seniman ini harus 'pre order' dulu sebulan sebelumnya, itupun tarifnya cukup mahal.

Dari sinilah saya terketuk untuk belajar nopeng dan akan ngayah sebisa yang saya mampu lakukan dan di mana saja," tegasnya.

Halaman
12

Berita Terkini