Hal-hal seperti itu terus diwariskan, dilanjutkan dari generasi ke generasi.
Biasanya, pada malam tersebut mereka mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membersihkan diri melawan segala godaan hawa nafsu.
Mengutip laman Indonesia Kaya, tradisi malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung.
Saat itu, masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu.
Sementara Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah (Islam).
Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.
Penyatuan kalender ini dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi.
Hal tersebut bisa terjadi karena imbas dari politik kebudayaan dari Sultan Agung dari Kerajaan Mataram pada kurun 1628-1629.
Pada saat itu, Mataram mengalami kekalahan dalam penyerbuannya ke Batavia, yang akhirnya membuat Sultan Agung melakukan evaluasi.
Setelah penyerbuan itu pula, pasukan Mataram yang menyerang Batavia telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa.
Kondisi tersebut akhirnya membuat pasukan Mataram tidak solid.
Kemudian, untuk merangkul semua golongan yang terbelah, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.
Alasan mengapa Sultan Agung menciptakan tahun Jawa-Islam dikaitkan dengan satu peristiwa sejarah yang membuat dia miris dan sedih.
Ia lantas berpikir secara keseluruhan bahwa ada yang salah dengan kebudayaan Jawa.
Banyak yang menduga, rasa sedih Sultan Agung dengan kekalahan dalam dua kali penyerbuannya ke Batavia.
Akhirnya, ia menciptakan tahun baru yang menggabungkan antara tahun Saka Hindu dengan tahun Islam.
Harapannya, berubahnya konsep akan membuat semua kepedihan itu hilang.
Sultan Agung juga mencanangkan pada malam permulaan tahun baru itu untuk prihatin, tidak berbuat sesuka hati dan tidak boleh berpesta.
Masyarakat harus menyepi, tapa, dan memohon kepada Tuhan.
Pada malam itu, untuk menghormati leluhur dan bentuk evaluasi, pusaka-pusaka dicuci, dibersihkan, seiring dengan kehidupan spiritual yang disucikan kembali.
Dari sinilah, banyak membuat orang Jawa meyakini bahwa Malam 1 Suro itu menjadi malam yang sakral.
Ada juga pertemuan antara dunia manusia dengan dunia gaib, karena pusaka-pusaka dicuci, didoakan, diselamatkan kembali.
Tak heran, malam tersebut akhirnya ditakuti orang-orang.
Baca juga: MISTERI Malam 1 Suro, Mitos atau Fakta? Inilah Amalan dan Bacaan Doa 1 Muharram Tahun Baru Islam
Bagi sebagian orang, ketakutan itu adalah berupa sanksi-sanksi gaib jika tidak berbuat kebaikan.
Sementara, bagi sebagian lain justru kehadiran dunia gaib inilah yang ditakuti.
Kepercayaan sepertitu yang kerap diangkat ke layar lebar dengan menghadirkan kisah-kisah menyeramkan.
Tradisi-tradisi itu pun terus berlanjut, dan kesakralan Malam 1 Suro terus diproduksi melalui mitos-mitos, tuturan cerita mulut ke mulut, bahkan tak jarang layar kaca juga menyuburkannya.
(*)
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Sejarah, Asal-usul Malam 1 Suro dan Alasan Mengapa Erat dengan Hal Mistis,