Alat tersebut dapat mendeteksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis dengan cepat.
"Angka yang ditemukan tinggi, tapi bukan berarti jelek. Ini justru menjadi prestasi, semakin banyak yang kami temukan maka semakin banyak juga yang bisa kami selamatkan dan mencegah penularannya. Kalau dulu yang kami temukan hanya sekitar 30 persen, sementara estimasi pusat lebih dari itu," terang Artamawan.
Penularan TBC diterangkan Artamawan sangat cepat bila dibandingkan dengan Covid-19.
Dalam sekali batuk, penderitanya akan mengeluarkan sebanyak 400 ribu hingga 600 ribu bakteri Mycobacterium Tuberculosis penyebab TBC.
Bakteri tersebut mengambang di udara selama berhari-hari, sehingga mudah menular kepada masyarakat yang memiliki daya tahan tubuh lemah.
"Masa inkubasi bakteri ini cukup panjang, jadi gejala orang yang terkena TBC akan muncul sekitar lima tahunan. Gejalanya seperti penurunan berat badan secara drastis dan batuk yang tak kunjung sembuh. Makanya kami melakukan upaya untuk menemukan penderitanya sebanyak-banyaknya, agar penularan bisa dicegah. Semakin banyak yang dites, semakin banyak potensi penemuan kasusnya," ungkapnya.
Atas tingginya kasus TBC ini, Artamawan pun mengimbau kepada masyarakat untuk segera melaporkan apabila di lingkungannya terdapat penderita yang mengarah ke TBC untuk di tes.
Sementara kepada penderita, diharapkan untuk minum obat secara teratur.
"Kalau putus minum obatnya, bakteri Mycobacterium Tuberculosis akan resisten atau kebal dengan obat yang diberikan. Harus gerakan pola hidup bersih dan sehat agar daya tahan tubuh kita bagus dan kebal dari segala macam penyakit," tandasnya. (*)