TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Bali merilis upah minimum provinsi (UMP), Senin (20/11/2023).
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dan ESDM Provinsi Bali, Ida Bagus Setiawan mengatakan, setelah melalui berbagai tahapan, akhirnya Bali menetapkan angka UMP yakni Rp 2.813.672.
“Sudah terbit keputusan Gubernur tepatnya nomor 979/03-M/HK/2023 tentang UMP Bali 2024, besarannya adalah Rp 2.813.672 atau kalau dibandingkan dengan UMP tahun 2023 naik sebesar 3,68 persen,” kata Setiawan. Untuk diketahui, UMP Bali pada 2023 sebesar Rp 2.713.672. Dengan UMP 2024 Rp 2.813.672, berarti ada kenaikan Rp100 ribu.
Baca juga: BREAKING NEWS! UMP Bali Naik Jadi Rp2,8 Juta, Ketua DPD SPSI Bali: Kurang Berdampak Signifikan
Tahapan penetapan UMP ini terdiri dari pertama pada regulasi yang telah terbit PP No 51 tahun 2023 pengganti PP No 36 tahun 2021 tentang pengupahan, kemudian pada 13-15 November setiap Provinsi diundang Kemenaker untuk melakukan bimbingan teknis (Bimtek) terkait pengupahan di Jakarta.
Lalu pada 16 November paralel dari pemerintah pusat mengadakan sosialisasi di Bali secara hybrid.
Sosialisasi tersebut berkaitan dengan PP No 51 tahun 2023. Pada 16 November tersebut Disnaker Bali juga melakukan Bimtek dengan rapat Dewan Pengupahan, untuk mencapai kesepakatan.
Baca juga: UMK Bangli 2023 Mengacu Pada UMP, Hasil Penghitungan Upah Minimum Kabupaten Bangli Dibawah UMP Bali
“Dan astungkara hari Kamis itu sudah sepakat untuk menetapkan UMP hasil berita acara sudah kami laporkan ke Pj Gubernur kemudian administrasi sudah,” imbuhnya.
Pengumuman penetapan angka UMP ini juga sudah diumumkan ke 9 kabupaten/kota di Bali dan akan dipublikasikan di Kominfo. Setiawan mengatakan, pertimbangan menetapkan angka UMP di Bali pada angka Rp 2.813.672 karena secara umum ada PP No 51 tahun 2023 sebagai parameter yang digunakan atau formula untuk menghitung.
Setiawan mengakui banyak parameter, namun ada beberapa parameter krusial lainnya, seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan hasil tahun sebelumnya.
“Nah memang ada konstanta alfa, ditentukan range antara 0,1-0,3. Salah satunya karena ketenagakerjaan kan menyumbang di pertumbuhan ekonomi. Kisarannya kurang lebih 30 persen sehingga dipakai angka 0,1-0,3 untuk di perwakilan tenaga kerja maupun pengusaha,” katanya.
Banyak pihak menilai UMP Bali masih rendah jika dibanding provinsi lain. Setiawan tak menampik anggapan itu.
“Memang angkanya Bali kan tidak setinggi daerah industri contohnya di Banten, DKI dan lain-lain. Tetapi formula yang dirumuskan di PP No 51 tahun 2023 tentunya ada satu nilai positif penyesuaian terhadap kondisi masing-masing daerah karena tidak mungkin apple to apple termasuk kita yang di Bali ini,” kata Setiawan.
Setiawan mengatakan, penetapan UMP di Bali rendah karena melihat disparitas pertumbuhan ekonomi di Bali yang sangat jomplang antara Kabupaten Badung dengan kabupaten/kota lainnya.
Contohnya, pada pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Badung tahun 2022 sebesar 9,97 persen, sedangkan Karangasem 2,58 persen dan ada lima kabupaten di Bali yang pertumbuhan ekonominya di bawah 4 persen.
“Sementara PE Provinsi 5,9 persen. Artinya tugas terbesarnya itu. Jangan dibandingkan dengan provinsi lainnya. Pertumbuhan ekonomi di Bali disparitasnya rendah. Ini PR masing-masing pemimpin di daerah,” katanya.
Setiawan mengatakan, disparitas ekonomi sangat terlihat karena lokus dan fokus kegiatan ekonomi berada di Kabupaten Badung. Sementara angka pertumbuhan lima kabupaten lainnya di bawah 4 persen yakni Karangasem, Bangli, Klungkung, Jembrana dan Buleleng. Sehingga kabupaten yang masih bisa mengikuti formula UMP adalah Badung.
Bahkan ada beberapa kabupaten yang menjadi pilot percontohan nasional yakni Denpasar, Gianyar dan Tabanan. Lantas bagaimana nantinya lima kabupaten di Bali dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah bisa menetapkan UMK? “Coba kita lihat nanti simulasi saat rapat dengan masing-masing kabupaten/kota.
Tapi kan sudah ada usul apabila (Kabupaten/kota) tidak bisa menentukan (UMK) bisa menggunakan UMP. Minimal UMP ini kalau komparasi dengan UMK 2023 agar selisihnya tidak banyak,” ujarnya.
Tentunya formula menentukan UMK nantinya berbeda karena telah menggunakan PP No 36 tahun 2023 secara umum PP No 51 tahun 2023 mengakomodir semua parameter dan memang pemerintah tidak ingin turun, kata Setiawan, angkanya pasti meningkat. Untuk saat ini PR di Bali tentunya dengan melihat salah satu hal yang krusial adalah pertumbuhan ekonomi.
“Ketika melihat PE seperti itu ya masing-masing PR pimpinan daerah bersinergi tidak mungkin sendirian, karena kita satu kepulauan di Bali dengan 9 kabupaten/kota untuk bisa meningkatkan potensi sehingga ekonomi di masing-masing daerah meningkat,” katanya.
Sementara itu, UMK di Kabupaten Badung tahun 2024 mulai dibahas. Dewan Pengupahan kabarnya sudah membahas dan berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Badung. Disperinaker Badung juga berkonsultasi ke instansi terkait di Pemprov Bali dan pemerintah pusat karena penetapan besaran UMK harus sesuai dengan beberapa kriteria.
Kepala Disperinaker Badung, Putu Eka Merthawan mengatakan, pihaknya terus berkonsultasi dengan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali dan Kementerian Tenaga Kerja terkait penetapan UMK.
"Kami sudah koordinasi sebelumnya dengan pemerintah pusat. Sehingga baru kami melakukan pembahasan. Jadi kami harus satukan dulu pandangan mengenai formulasi dan angka statistiknya harus pas," jelasnya.
Pihaknya mengaku rencananya akan menetapkan lagi di Provinsi Bali dengan Dinas Tenaga Kerja. Sebelumnya pihaknya sudah mendapatkan arahan dari Kementerian Tenaga Kerja.
Menurutnya, dirinya masih menunggu Provinsi Bali menetapkan UMP sebagai acuan dalam menentukan besaran UMK. Sebab, penetapan besaran UMK Badung mengacu pada penetapan UMP di Provinsi Bali.
"Memang teorinya harus lebih besar (UKM, Red) dari UMP, sedangkan UMP harus diputuskan dulu. Setelah itu, baru kami di daerah yang mengacu pada UMP tersebut tentu juga harus mendapat persetujuan dari Dewan Pengupahan Badung," jelasnya.
Sayangnya, Eka Methawan enggan menjelaskan besaran UMK Badung 2024. Namun pihaknya memastikan UMK Badung 2024 diputuskan akhir November ini.
"Saya belum berani pastikan itu (besaran UMK, Red), tetapi semoga besok (hari ini, Red) ada penjelasan dari provinsi, baru kami bisa berkomentar supaya tidak mendahului Dewan Pengupahan dan UMP. Siapa tahu UMP-nya terlalu tinggi kan tidak mungkin kami bisa kejar, namun bulan ini (November) harus sudah ada keputusan," tegasnya.
Terkait pengawasan penerapan UMK Badung di 2023, birokrat asal Sempidi, Mengwi ini menyebutkan telah diterapkan oleh pengusaha, meski belum mencapai 100 persen. Sebab, sejumlah pengusaha belum mampu mengikuti ketentuan UMK lantaran perusahaan tengah dalam pemulihan pasca Covid-19.
"Kami pantau dari sisi penerapan di lapangan itu dari perusahaan yang kategori besar dan hotel bintang lima hampir seluruhnya sudah taat dengan aturan ini (UMK, Red)."
"Jadi anggaplah kita bicara skala besar dulu, namun demikian kami tidak pungkiri ada perusahaan yang kategori tidak besar itu masih menunggu (belum menyesuaikan UMK) karena sifatnya baru bangkit dan ada kesepakatan bersama kurang lebih 20 persen," katanya.
Seperti diketahui, kenaikan UMK Badung 2023 mencapai 6,84 persen atau sekitar Rp 200 ribu dari tahun 2022 Rp 2.961.285 menjadi Rp 3.163.837.
Kenaikan UMK Badung 2023 ini, merujuk pada Permenaker No 18 Tahun 2022, tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. (sar/gus)
SPSI: Kurang Berdampak Signifikan
DINAS Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Bali merilis angka Upah Minimum Provinsi (UMP), Senin (20/11). UMP Bali pada 2024 yakni Rp2.813.672. Hal ini sesuai dengan Keputusan Gubernur Bali Nomor 979/03-M/HK/2023 tentang UMP Bali 2024.
“Sudah terbit keputusan Gubernur tepatnya nomor 979/03-M/HK/2023 tentang UMP Bali 2024, besarannya adalah Rp2.813.672 atau kalau dibandingkan dengan UMP Tahun 2023 naik 3,68 persen,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dan ESDM Provinsi Bali, Ida Bagus Setiawan.
Kendati naik 3,68 persen, hal tersebut dinilai tidak berdampak signifikan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Provinsi Bali. Salah satu faktornya, yakni lantaran kondisi ekonomi Bali kini dikatakan telah membaik.
“Kurang berdampak. Apalagi ekonomi Bali sekarang sudah bagus,” kata Ketua DPD Konfederasi SPSI Bali, I Wayan Madra saat dihubungi Tribun Bali, Senin (20/11/2023).
Disinggung soal besaran upah yang sesuai, Madra mematok besaran di atas Rp 3.000.000.
“Paling tidak di atas 3 juta (rupiah) upah provinsi itu. Kalau menurut versi kami,” imbuhnya.
Madra kemudian membeberkan sejumlah alasannya mematok angka tersebut. Selain kondisi ekonomi Bali yang telah membaik, perhitungan yang ada saat ini dikatakan berdasarkan rumus nasional.
Hal itu tak sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagaimana yang disampaikan Madra. Madra dan sejumlah rekannya sempat menyusun KHL yang terdiri dari 61 item.
Mulai dari beras, hingga jenis daging yang nantinya akan dikonsumsi masyarakat.
“Pertimbangannya, ekonomi Bali sudah bagus. Kedua, perhitungan yang ada sekarang itu berdasarkan rumus nasional. Tidak berdasarkan KHL lagi, seperti yang saya sampaikan tadi,” jelasnya.
Pertimbangan lain, yakni besaran upah, kata Madra, dapat berdampak pada daya beli masyarakat. Hal tersebut juga diproyeksikan dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi Bali.
“Dengan peningkatan upah itu, akan menambah daya beli masyarakat. Pertumbuhan ekonomi lebih bagus,” kata Madra. (*)