Sedangkan gaji perbekel hanya Rp 6 juta. Itu pun gaji satu bulan tidak dibayar penuh. Bisa dirapel di bulan ketiga. Di bulan pertama hanya dibayar separuhnya.
“Tapi itu tadi. Kakek saya adalah orang yang melayani umat. Itu yang disuruh atau diminta masyarakat bahwa saya harus menjadi seperti kakek saya.
Sebagai pelayan umat dan masyarakat. Saya tidak bisa menghindar. Dan jujur ini karena Hyang Widi dan doa ibu saya. Saya ini bukan siapa-siapa. Saya ini dulu sampah di masyarakat,” akunya sembari berkaca-kaca.
Bobby mengaku, bahwa dirinya adalah anak pertama dari dua bersaudara. Sejak kecil, dirinya tidak pernah merasakan nikmat penuh kasih sayang orangtua.
Dirinya harus dititipkan ke saudara-saudara sampai di Singaraja, Buleleng. “Jujur kalau ingat masa kecil saya pasti nangis. Bayangkan dahulu anak sebaya saya ke sekolah diantar orangtua.
Saya tidak ada yang ngantar. Di situ terus saya ke belakang nangis. Tapi itu semua yang membentuk mental saya untuk menjadi pejuang. Dan selalu semua jalan ini karena yang di atas dan ibu saya,” ungkapnya lagi.
Ajik Bobby mengaku, maju di Pileg lalu tidak memiliki modal apapun. Nyaris seluruh biaya kampanye dan sampai saksi-saksi adalah bantuan teman dan masyarakat.
Percaya atau tidak, banyak masyarakat yang membantu swadaya memasang baliho dan spanduk. Memberikan uang mulai ada yang Rp 10 juta sampai Rp 2 juta.
“Saya itu cuma punya prinsip manusia jika diibaratkan emas. Maka ketika itu dilempar di mana saja tetap menjadi emas.
Mau di tempat kotor sekalipun. Walaupun mencucinya susah. Tapi nilainya tetap emas. Jadi menangnya saya bukan karena saya.
Tapi masyarakat dan teman saya yang membantu. Jujur ini. Saya modal apa gak punya. Semua pemuda Pandak masyarakat yang bergerak membantu saya selama kampanye sampai perhitungan suara,” pungkasnya. (ang).